RUU BUMDes Perlu Perhitungkan Daerah Yang Minim Potensi

Jakarta – Keberadaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) belum mampu menjadi penggerak perekonomian desa disebabkan masih tumpang tindihnya aturan yang mengatur tentang BUMDes. Revitalisasi BUMDes sangat diperlukan melalui pembentukan Rancangan undang-undang tentang Badan Usaha Milik Desa (RUU BUMDes). Hal ini disampaikan Wakil Ketua PPUU, Ajbar dalam Rapat Dengar Pendapat Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) dengan Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Provinsi Jawa Timur, Mohammad Yasin dalam rangka Pengayaan Materi RUU BUMDes di Ruang Rapat PPUU, Gedung DPD RI, Komplek Parlemen Senayan, Rabu (22/1/20).

Lebih lanjut Ajbar menambahkan masih banyak daerah yang belum menunjukkan perkembangan yang signifikan dari pembentukan BUMDes, hal ini karena belum ada aturan tersendiri tentang BUMDes.

Sementara itu, anggota PPUU asal Sulawesi Tengah, Lukky Semen mengatakan aturan dalam RUU BUMDes harus melindungi para pelaku ekonomi di desa dan mempersiapkan para pelaku usaha mulai dari pembinaan pelaku usaha, pengembangan BUMDes dan pengawasannya. RUU BUMDes perlu secara rinci mengatur tentang manajemen tata kelola BUMDes. Terlebih lagi di era digital saat ini, perlu adanya aturan manajemen BUMDes yang berbasis IT. “RUU ini harus mampu menyiapkan sumber daya yang baik dan mumpuni agar implementasinya berjalan dengan tepat sasaran. Harus mampu melindungi pelaku usaha di desa, karena kurangnya pengetahuan mereka atas usaha yang dijalankan sehingga banyak dibohongi orang luar, harus ada pendampingan dan pembinaan,” katanya.

Senada dengan Lukky, anggota PPUU daerah pemilihan Riau, Instiawaty Ayus menilai pengembangan BUMDes membutuhkan kepastian hukum sehingga berbagai inovasi yang diusung oleh BUMDes memiliki payung hukum yang jelas. “Inovasi yang diusung oleh pemerintah Provinsi sebagai pendamping dari BUMDes belum diiringi oleh regulasi. Pertumbuhan BUMDes di masing-masing daerah tidak sama, bisa saja menimbulkan kesenjangan. Hanya daerah yang memiliki potensi yang dapat berkembang pesat dan memajukan perekonomian daerah,” tukasnya.

Anggota PPUU daerah pemilihan Sumatera Utara, Badikenita Sitepu menilai dana desa belum banyak menyentuh BUMDes. “Untuk Provinsi Jawa Timur yang BUMDesnya berkembang pesat, 85% dari dana desa digunakan untuk infrastruktur. Kalaupun ada yang diperuntukkan untuk BUMDes itu hanya sebatas pembangunan gedung BUMDes, belum kepada penguatan modal BUMDes,” jelasnya.

Sementara itu, anggota PPUU daerah pemilihan Kalimantan Tengah, Agustin Teras Narang mengatakan RUU BUMDes hendaknya dirancang sesuai dengan kebutuhan nasional, bukan hanya dapat diimplementasikan di daerah-daerah tertentu saja, karena dikhawatirkan kehadiran RUU ini akan menimbulkan kesenjangan. Untuk itu PPUU harus mampu mendesain aturan bagi BUMDes yang dapat mengakomodir kepentingan seluru masyarakat. “Yang paling saya khawatirkan adalah gampang untuk membuat undang-undang, tetapi implementasinya harus paham daya serap masyarakat kita. Keberhasilan BUMDes dari satu daerah, harus dibuatkan komparasi dengan daerah lain yang yang BUMDesnya tidak berkembang dengan baik,” jelasnya.

Menanggapi tentang pengembangan BUMDes, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Provinsi Jawa Timur, Mohammad Yasin menjelaskan bahwa hingga saat ini jumlah BUMDes yang ada di Jawa Timur sebanyak 5.432 atau mencapai 70,3 % dari jumlah desa yang ada. Meski tergolong pesat, namun Yasin tak memungkiri masih banyak persoalan yang ada dalam pengembangan BUMDes di Provinsi Jawa Timur.
M. Yasin mengusulkan adanya aturan yang secara tegas menyatakan status BUMDes sebagai badan hukum yang dibuat secara spesifik bercirikan desa. Selain itu, diperlukan juga penyusunan dasar hukum yang berkelanjutan (blue print) yang ditetapkan dalam peraturan desa. “Perlu adanya identifikasi dan pendataan BUMDes, fasilitasi pembentukan BUMDes, peningkatan kapasita pengelola BUMDes, membangun jejaring dan memfasilitasi permodalan melalui optimalisasi dana desa,” terangnya. (Adv)