JAKARTA – Tahun 2045, Indonesia akan mencapai usia emas. Pemerintah telah menyusun roadmap dengan visi ‘Indonesia 2045: Berdaulat, Maju, Adil, dan Makmur’. Menurut Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, untuk mewujudkan hal itu, diperlukan keberanian untuk mengoreksi kelemahan tata negara Indonesia.

Caranya, dengan meninjau ulang Amandemen Konstitusi yang dilakukan tahun 1999 hingga 2002 lalu.

“Tujuan amandemen konstitusi tahap ke-5 agar roadmap yang telah disusun pemerintah dapat lebih cepat terwujud dan Indonesia ke depan lebih baik,” ujar LaNyalla saat mengikuti Temu Rembuk Mahasiswa Tarbiyah Indonesia Timur yang diselenggarakan oleh Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin Makassar, secara virtual, Kamis (28/10/2021).

LaNyalla menegaskan, roadmap yang disusun Pemerintah menuju Indonesia 2045 sangat baik, dengan adanya 4 pokok pembangunan prioritas. Yakni, pembangunan manusia serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, pembangunan ekonomi berkelanjutan, pemerataan pembangunan di luar Jawa dan pemantapan ketahanan nasional dan tata kelola kepemerintahan.

“Visi besarnya sangat bagus. Indonesia 2045: Berdaulat, Maju, Adil, dan Makmur. Karena pemerintah ingin mencakup adanya semua ciri negara yang berdaulat, maju, adil dan makmur. Artinya daulat pangan, daulat atas sumber daya alam, daulat energi dan daulat wilayah. Maju dalam peradaban, pendidikan, kesehatan dan Teknologi. Adil dalam ekonomi dan pelayanan serta hak warga negara,” katanya.

Namun, LaNyalla menilai hal itu tidak mudah diimplementasikan. Karena, setiap kata dalam visi tersebut mengandung konsekuensi untuk dipastikan terjadi. Faktanya hari ini terjadi ketimpangan penguasaan kekayaan, dimana kurang dari 2 persen penduduk Indonesia menguasai hampir 40 persen kekayaan Indonesia.

“Hasil dari amandemen UUD 1945 dalam 4 tahap perubahan juga malah menjadikan Indonesia negara liberal kapitalistik. Kita lihat ekonomi yang disusun para pendiri bangsa yang awalnya berazas kekeluargaan, ekonomi Pancasila serta koperasi kini hampir semua diserahkan ke mekanisme pasar. Termasuk terhadap cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak,” jelasnya.

Belum lagi di tahun 2045 akan terjadi bonus demografi. Saat itu penduduk usia produktif yang berusia antara 15 hingga 64 tahun mencapai 71 persen. Dimana jika tidak tertangani, khususnya terkait lapangan pekerjaan, maka bukan bonus demografi yang kita dapat, tetapi bisa bencana demografi yang kita hadapi.

Bagi LaNyalla, hal itu harus ditangani dengan baik. Kemudian adanya ancaman perubahan iklim global. Jika tidak diantisipasi dengan serius, akan menjadi bencana global yang bisa mengancam masa depan bangsa-bangsa di dunia, termasuk Indonesia.

“Karena itulah wacana Amandemen Konstitusi tahap ke-5 harus didorong sebagai sebuah momentum untuk melakukan refleksi dan koreksi arah perjalanan bangsa sekaligus sistem tata negara kita. Sehingga tujuan Indonesia Emas 2045 lebih mudah terwujud,” tegasnya lagi.

Dengan berbagai tantangan ke depan, termasuk Pandemi Covid, LaNyalla mengajak Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN), khususnya Fakultas Tarbiyah dan Keguruan mempersiapkan generasi masa depan melalui lembaga pendidikan. Karena salah satu yang ditempuh pemerintah untuk menuju Indonesia Emas 2045 adalah percepatan pendidikan rakyat Indonesia secara merata

“Ini peluang sekaligus tantangan karena strategi pembangunan pendidikan juga berubah. Sukses pendidikan akan ditentukan kepada profesionalisme guru dan perubahan metode pembelajaran. Pola pendidikan akan lebih dititikberatkan kepada pendidikan Vokasi, pembekalan entrepreneurship dan pendidikan Karakter. Sebab situasi perubahan global menjadikan pekerjaan yang ada hari ini menjadi tidak ada di masa depan. Sebaliknya, pekerjaan yang tidak kita bayangkan, akan menjadi pekerjaan lazim di masa mendatang,” paparnya.

Dalam acara yang bertema ‘PTKIN Sebagai Epicentrum Menuju Indonesia Emas 2045’ itu LaNyalla juga menginginkan agar PTKIN  menjadi  penjaga moral dan akhlak, dalam menghadapi arus perubahan global. Sekaligus sebagai jembatan komunikasi dan hubungan antar negara Islam di dunia.

Keunggulan kompetitif itu, lanjutnya, harus dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh UIN di Indonesia. Terutama dalam menyongsong kebangkitan ekonomi Syariah dan industrialisasi produk halal di dunia.

“Jadi, mulailah berpikir global. Tetapi dengan tetap membumikan karakter kebangsaan kita sebagai bangsa Indonesia. Dengan tetap berpegang teguh kepada cita-cita luhur para pendiri bangsa,” ujarnya. (Adv)