Keselamatan kerja merupakan suatu hak yang harus dimiliki oleh setiap orang yang terlibat dalam suatu pekerjaan dengan perlindungan terhadap risiko yang dialami. Tentunya, banyak komponen masyarakat di Indonesia yang sangat mengharapkan terjaminnya hak keselamatan kerja ini. Buruh dan pekerja menjadi peran yang paling sering menyuarakan tuntutannya penerapan nyata dari terjaminnya hak keselamatan kerja. Hal ini berkaitan dengan kerentanan pekerjaan dengan beragam risiko atau bahaya yang akan dialami, baik secara fisik, mental, atau psikososial yang dialami.

Awalnya, keselamatan kerja selama ini tidak dianggap penting oleh para pekerja. Saat ini, pekerja mulai bergerak untuk menuntut adanya reformasi dari penerapan nyata dari upaya keselamatan kerja. Berdasarkan Kemenkes RI dalam Infodatin tahun 2015 tercatat sudah terjadi beberapa peristiwa kecelekaan kerja yaitu 9.891 kasus pada tahun 2011, 21.735 kasus pada tahun 2012, 35.917 kasus pada tahun 2013, dan 24.910 kasus pada tahun 2014. Selain itu, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan juga mencatat angka kecelakaan kerja yang telah terjadi mencapai 105.182 kasus kecelakaan kerja hingga akhir 2015. Bahkan kasus kecelakaan berat yang mengakibatkan kematian tercatat sebanyak 2.375 kasus dari total jumlah kecelakaan kerja. Melihat dari tren jumlah kecelakaan kerja ini, tentunya akan ada komponen masyarakat ingin bergerak untuk berupaya menekan supaya kecelakaan kerja ini tidak terjadi berlebihan.

Lalu bagaimanakah tidak lanjut dari tuntutan hak keselamatan kerja ini? Baru-baru ini muncul satu tuntutan mengenai terjaminnya keselamatan kerja yaitu memperbaiki regulasi seperti yang tercantum dalam UU No 1 Tahun 1970. Adapun tujuan dari UU No 1 Tahun 1970 adalah memberikan perlindungan atas keselamatan terhadap tenaga kerja, orang lain yang berada di tempat kerja, serta sumber-sumber produksi agar dapat dipakai secara aman dan efisien. Undang-undang ini menjadi dasar hukum yang sudah lama diberlakukan terkait upaya keselamatan kerja. Banyak buruh atau pekerja yang menuntut adanya pembaruan dari undang-undang ini dikarenakan beberapa hal mengenai keselamatan dan kesehatan kerja yang masih kurang diperhatikan. Dalam liputan yang dilakukan oleh Afriyadi (2015) menceritakan tentang Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang menyatakan perlindungan terhadap buruh dan pekerja di Indonesia masih rendah dimana regulasi terkesan lebih mementingkan atau menguntungkan pihak pengusaha. KSPI meminta kepada pemerintah untuk bisa mempertimbangkan perubahan regulasi, terutama untuk mengevaluasi atau merevisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 ini.

Dalam UU No 1 Tahun 1970 pada pasal 3 ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja. Salah satu pernyataan dari pasal ini adalah “Memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara dan proses kerjanya.” Undang-undang ini sudah mengatur perusahaan untuk menyediakan alat-alat apa yang perlu disediakan ketika perusahaan akan beroperasi dan bagaimana mengupayakan terjaminnya keamanan penggunaan alat tersebut oleh pekerja. Tentu alat-alat bergantung tingkat risiko daripada jenis pekerja atau buruh. Nah, sayangnya implementasi dari pasal ini sepertinya masih belum terlaksana dengan baik. Salah satu peristiwa yang menjadi perhatian terkait kurangnya penerapan pasal ini adalah kebakaran yang terjadi di PT Mandom Indonesia Tbk pada 10 Juli 2015 di kawasan industri MM 2100, Cibitung, Bekasi, Jawa Barat. Kebakaran tersebut 21 pekerja dan 37 orang mengalami luka-luka akibat ledakan gas. Terkait dengan kecelakaan kerja tersebut, KSPI menduga ada kesalahan dari pihak manajemen perusahaan dimana pipa gas di pabrik tidak sesuai standar. Menjadi patut dipertanyakan bagaimana pihak perusahaan bisa memastikan seluruh alat dan proses kerja itu aman, namun ternyata diketahui adanya pernyataan demikian. Bentuk kelalaian perusahaan yang berujung pada kecelakaan kerja juga terjadi di Bandung. Dalam liputan yang dilakukan oleh Prakasa (2016) dikabarkan delapan orang mengalami kecelakaan kerja di perusahaan sepatu kawasan Kelurahan Cigondewah, Kota Bandung, Jawa Barat, pada 5 Agustus 2016. Dua pekerja dinyatakan meninggal dunia di lokasi kejadian. Peristiwa ini terjadi akibat uji coba mesin baru di perusahaan. Diketahui mesin ini baru dibeli oleh perusahaaan, namun tidak ada yang mengetahui bahwa mesin baru ini apakah sudah sesuai standar atau belum. Beberapa peristiwa yang ada ini seseuai dengan pernyataan ILO (1989) yaitu timbulnya kecelakaan merupakan gabungan dari beberapa faktor yaitu faktor peralatan teknis, lingkungan kerja, dan pekerja itu sendiri, Suatu pabrik mungkin saja kurang menyediakaan peralatan yang aman atau mesin-mesin yang tidak dirancang dengan baik untuk dilengkapi dengan alat pengamanan sehingga berisiko untuk menimbulkan kecelakaan, secara langsung bisa berdampak pada pekerja. Maka dari itu yang menjadi bahan pertimbangan kita adalah perlukah adanya tambahan pernyataan syarat-syarat kerja pada UU No. 1 Tahun 1970 mengenai penggunaan alat-alat yang terstandar dan aman digunakan oleh pekerja dan perusahaan wajib memenuhinya untuk mencegah timbulnya kecelakaan kerja?

Memang dalam UU No 1 Tahun 1970 telah mengatur upaya pengawasan yang tertulis dalam pasal 5 ayat 1, yang berbunyi: “Direktur melakukan pelaksanaan umum terhadap Undang-undang ini, sedangkan para pegawai pengawas dan ahli keselamatan kerja ditugaskan menjalankan pengawasan langsung terhadap ditaatinya Undang-undang ini dan membantu pelaksanaannya.” Menjadi perhatian bagi kita apakah undang-undang juga mengatur adanya pihak eksternal untuk melakukan audit dan memastikan standar alat sudah terpenuhi. Karena hal tersebut sepertinya masih belum tertuang di dalam undang-undang tersebut. Bagaimana kita bisa memastikan alat atau perlengkapan yang ada dalam bekerja benar-benar aman jika hanya diperiksa oleh pihak internal. Tidak hanya alat dan perlengkapan saja, pengkajian terhadap penerapan K3 yang berlangsung di perusahaan juga perlu dilakukan oleh pihak eksternal. Setidaknya, kepastian proses pelaksanaan K3 suatu perusahaan itu murni berjalan dengan baik oleh pihak perusahaan dan pihak luar perusahaan yang bersifat independen. Bayangkan saja, dalam liputan yang dilakukan oleh Afriyadi (2015) dengan berita yang berbeda, KSPI juga sempat meminta Presiden Joko Widodo untuk terjun langsung dalam memastikan keselamatan para pekerja atau buruh bahkan mendesak perusahaan untuk memeriksa ulang tingkat keselamatan dan kesehatan kerja. Hal ini menunjukkan rasa tidak nyaman para buruh atau pekerja dengan masih kurang terjaminnya keselamatan kerja sehingga membutuhkan pihak luar perusahaan.

Pertimbangan lainnya adalah perihal mengenai sanksi yang diterima. Pada pasal 15 ayat 2, terdapat pernyataan “Ancaman pidana atas pelanggarannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).” Tentunya akan ada banyak interpretasi yang menilai bahwa sanksi ini terlalu ringan. Melihat dari risiko kerja yang dimiliki oleh buruh atau pekerja sampai terjadinya kecelakaan kerja yang mengancam hidupnya, sanksi ini dinilai tidak sebanding. Perusahaan hanya mendapat denda yang kecil untuk pelanggaran keselamatan kerja yang secara langsung berdampak merugikan pada tenaga kerja yang terlibat di dalamnya, bahkan nilainya melebihi dari besarnya denda tersebut. Sehingga sangat perlu untuk mempertimbangkan beban sanksi yang seadil-adilnya.

Jika melihat kembali apakah regulasi mengenai keselamatan kerja itu perlu dirubah dinilai sangat perlu. Penegakan peraturan (law enforcement) menjadi suatu cara yang efektif dalam membentuk rekayasa sosial masyarakat yang lebih baik dalam menyeimbangkan antara hak dan kewajiban, maka diperlukan regulasi yang lebih banyak mencakup aspek-aspek penting di dalamnya. Beberapa aspek dari UU No 1 tahun 1970 ini tentunya perlu dikaji kembali mengenai hak dan kewajiban para pekerja dalam mencapai tujuan hak keselamatan kerja serta bisa berdampak pada peningkatan produktivitasnya. Sehingga, perlu adanya tindakan segera oleh pemerintah untuk mengevaluasi regulasi tersebut dan bisa membentuk undang-undang terbaru yang lebih komprehensif.

Selain itu, diperlukan kerjasama antara perusahaan dan pekerja. Perusahaan dan pekerja juga perlu menunjukkan komitmen dengan menerapkan K3 secara konsisten, baik selama undang-undang ini masih berlaku atau akan direvisi. Para pekerja juga boleh menyuarakan kembali hak-hak apa saja yang masih kurang diperhatikan dalam suatu regulasi untuk menjunjung hak keselamatan kerja yang lebih baik

Oleh : Ardhita Stevefano (Mahasiswa Ekstensi Peminatan Keselamatan dan Kesehatan kerja FKM Universitas Indonesia 2015)