Beranda blog Halaman 3116

Yogyakarta Siapkan Konsep Ruang Terbuka Biru

Yogyakarta – Pemerintah Kota Yogyakarta menyiapkan konsep baru yaitu penyediaan ruang terbuka biru untuk melengkapi keberadaan ruang terbuka hijau sehingga manfaat yang nantinya diperoleh bakal lebih optimal.

“Keberadaan ruang terbuka biru sebenarnya memiliki persepsi yang sama dengan ruang terbuka hijau, yaitu ditujukan untuk menjaga kelestarian lingkungan. Hanya teknisnya saja yang berbeda,” kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Yogyakarta Edy Muhammad di Yogyakarta, Jumat.

Menurut dia, ruang terbuka biru adalah sebuah kawasan yang ditujukan untuk menjaga ketersediaan air bersih dalam jangka panjang, sedangkan ruang terbuka hijau ditujukan untuk menjaga kualitas udara perkotaan.

Ruang terbuka biru akan diwujudkan dalam suatu kawasan yang memiliki sumber air, atau sebagai daerah tangkapan dan resapan air yang kemudian diberi tambahan fasilitas dan sarana sesuai kebutuhan masyarakat.

Beberapa lokasi yang bisa dijadikan sebagai ruang terbuka biru di Kota Yogyakarta di antaranya adalah Embung Langensari yang dibangun oleh Balai Besar Wilayah Serayu Opak (BBWSO) dan bantaran sungai yang memiliki mata air.

“Saat ini, kami masih terus melakukan kajian dan pemetaan terhadap daerah yang memiliki sumber mata air dan membutuhkan ruang terbuka biru,” katanya yang berharap hasil kajian dan pemetaan bisa diselesaikan bulan depan.

Salah satu lahan milik Pemerintah Kota Yogyakarta yang bisa dikembangkan menjadi ruang terbuka biru berada di Jalan Tegalturi Giwangan. Lahan itu sebelumnya akan dimanfaatkan sebagai pusat olahraga.

“Saat ini, lokasi tersebut masih berupa lahan persawahan,” katanya.

Sementara itu, untuk ketersediaan ruang terbuka hijau, dibedakan menjadi dua yaitu ruang terbuka hijau publik dengan ketersediaan minimal 20 persen dari luas wilayah dan ruang terbuka hijau privat 10 persen dari luas wilayah.

Di Kota Yogyakarta, ruang terbuka hijau privat sudah mencapai 14 persen sedangkan ruang terbuka hijau publik baru mencapai sekitar 19 persen.  (Antara)

Museum Radya Pustaka Dibuka Lagi

Solo, Jateng – Museum Radya Pustaka Solo kembali buka seperti biasa pada Sabtu (16/4), setelah sempat tutup selama beberapa hari karena banyak karyawan yang libur karena pencairan dana pemerintah kota untuk operasional museum terlambat.

Ketua II Komite Museum Radya Pustaka, Sanyoto, pada Senin menjelaskan sebelumnya banyak karyawan museum harus libur karena keterlambatan pencairan dana operasional sebanyak Rp300 juta dari Pemerintah Kota Surakarta membuat pembayaran gaji karyawan terganggu.

“Meskipun mengalami penutupan beberapa hari, untuk perawatan benda-benda koleksi masih tetap dilakukan seperti biasa. Hanya saja untuk membuka museum tidak dilakukan karena karyawannya yang masuk hanya tiga orang, dan ini tidak mungkin bisa melayani para pengunjung,” katanya.

Pemerintah Kota Surakarta menjanjikan pencairan dana hibah tahap pertama untuk operasional museum bisa direalisasikan dalam waktu dekat.

Wali Kota Surakarta FX Hadi Rudyatmo mengaku sudah mengirimkan disposisi ke Dinas Kebudayaan dan Pariwisata guna memperlancar pencairan dan penyerahan dana hibah tersebut.

Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Surakarta Budi Yulistianto menjamin pencairan dana hibah tersebut tidak akan butuh waktu lama.

“Sepanjang proposal permohonan sudah selesai diverifikasi Disbudpar, kami akan segera memproses pencairannya. Jika berkas administrasi lengkap, satu hari pun selesai,” katanya. (Antara)

Peneliti: Rokok Jadi Perangkap Kemiskinan

Jakarta – Wakil Kepala Bidang Penelitian Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Abdillah Ahsan mengatakan bahwa kebiasaan merokok merupakan perangkap kemiskinan karena menyebabkan jumlah uang yang dibelanjakan untuk kebutuhan primer menurun.

“Merokok adalah perangkap kemiskinan. Kebiasaan merokok akan menyebabkan uang yang dibelanjakan menurun, itu tanpa terkena penyakit sudah mengorbankan banyak hal,” kata Abdillah dalam diskusi Ekonomi Indonesia dalam Bahaya Rokok di Jakarta, Kamis.

Abdillah mengatakan beberapa hal yang dikorbankan akibat kebiasaan merokok antara lain di sektor pendidikan, kesehatan dan gizi keluarga. Dengan uang yang dikeluarkan untuk membeli rokok tersebut maka tidak bisa dialokasikan kembali untuk sektor-sektor lain.

“Jika uang sudah kita habiskan untuk membeli rokok maka uang yang sama tidak bisa membayar biaya pendidikan anak, uang yang sama tidak bisa meningkatkan gizi keluarga seperti untuk untuk beli telur dan sebagainya,” kata Abdillah.

Abdillah menjelaskan pengeluaran untuk rokok dan susu pada rumah tangga termiskin setara dengan 13 kali dari pengeluaran untuk pembelian daging, lima kali lebih besar dari pembelian susu dan telur dan dua kali lebih besar dari pembelian ikan dan sayuran.

Menurut Abdillah, jika dilakukan perhitungan ekonomi dengan mengonsumsi rokok satu bungkus per hari dengan harga Rp10.000 per bungkus maka pengeluaran tersebut setara dengan Rp36,5 juta per tahun.

“Uang itu bisa dipakai untuk biaya haji, biaya sekolah, uang muka pembelian rumah, renovasi rumah, bahkan untuk modal usaha,” kata Abdillah.

Abdillah mengatakan para perokok juga membuka kemungkinan terkena penyakit lebih besar dibandingkan dengan orang-orang yang tidak merokok. Berdasarkan data tahun 2007 lalu, para peserta Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dan Asuransi Kesehatan (Askes), lebih dari 20 persen diantaranya adalah perokok.

“Data tahun 2007, terihat bahwa peserta Jamkesmas yang merokok 30 persen, Jamsostek 30 persen dan Askes hampir 20 persen. Itu jaminan kesehatan yang pada saat itu dibayari oleh pemerintah,” kata Abdillah.

Menurut Abdillah, dengan seseorang merokok maka risiko terkena penyakit akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Dengan fakta tersebut, maka biaya untuk pengobatan juga meningkat, dalam hal ini yang membayar adalah pemerintah.

“Seharusnya, perokok yang sakit itu menuntut ke industri rokok pada saat mereka sakit. Jangan menuntut ke pemerintah. Ini perangkap kemiskinan,” kata Abdillah.

Pada tahun 2010, tercatat, kerugian ekonomi akibat hilangnya waktu produktif terkait meningkatnya kematian, kesakitan dan disabilitas terkait merokok mencapai Rp105,3 triliun. Sementara biaya pembelian rokok mencapai Rp138 triliun, biaya rawat inap akibat penyakit terkait rokok Rp1,85 triliun, dan biaya rawat jalan akibat merokok mencapai Rp260 miliar.

Tercatat, penerimaan cukai hasil tembakau pada 2010 mencapai Rp56 triliun, namun, total kerugian makroekonomi terkait konsumsi rokok mencapai Rp245,4 triliun, atau empat kali lebih besar dari penerimaan cukai hasil tembakau. (Antara)

Mensos : Yang Dapat Tunjangan Kehamilan Peserta PKH

Demak, Jateng – Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan yang mendapatkan tunjangan kehamilan sebesar Rp1,2 juta adalah ibu hamil peserta Program Keluarga Harapan (PKH).

“Yang dapat tunjangan kehamilan adalah penerima PKH supaya ibu hamil sehat dan bayi yang lahir juga sehat,” kata Mensos pads pencairan bantuan PKH di Kabupaten Demak, Sabtu.

Dia mengatakan, sebelumnya ibu hamil atau memiliki bayi atau balita hanya mendapatkan Rp1 juta. Bantuan tersebut dicairkan empat kali dalam setahun.

PKH yang juga disebut bantuan tunai bersyarat di sejumlah negara, diberikan untuk keluarga sangat miskin yang memenuhi syarat tertentu yaitu ibu hamil, punya bayi, balita, anak usia SD, SMP atau SMA.

Ibu hamil yang mendapat PKH harus memeriksa kehamilan minimal tiga kali agar kehamilannya sehat, sedangkan yang memiliki bayi atau balita harus memberikan imunisasi dan makanan yang bergizi agar anak sehat.

Sedangkan anak sekolah harus memenuhi syarat anak kembali ke sekolah dan memenuhi 85 persen absensi kehadiran.

Mensos berada di Demak dalam rangka penyerahan bantuan sosial tahun 2016 berupa PKH bagi 35.019 keluarga senilai Rp65 miliar lebih, bantuan sosial disabilitas untuk 37 orang penyandang disabilitas berat senilai Rp133 juta, bantuan sosial lanjut usia untuk 50 orang senilai Rp120 juta.

Selain itu juga bantuan beras sejahtera untuk 98.889 keluarga senilai Rp129 miliar serta hibah dalam negeri Rp60 juta. Total bantuan untuk Demak lebih dari Rp194 miliar. (Antara)

Kurikulum 2013 Disederhanakan

Kudus, Jawa Tengah – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, memutuskan mengoreksi Kurikulum 2013 untuk disederhanakan dalam penerapan karena beban penilaiannya dinilai terlalu besar.

“Sistem penilaian pada Kurikulum 2013 dengan penilaian autentik memberatkan guru karena waktunya habis hanya untuk melakukan penilaian,” ujarnya, ketika menginspeksi pelaksanaan pencetakan Kartu Indonesia Pintar, di PT Pura Grup Kudus, Sabtu malam (16/4).

Untuk itu, kata dia, disederhanakan supaya guru bisa menilai dengan mudah.

Sekolah yang sebelumnya menerapkan Kurikulum 2013, kata dia, sekarang gurunya diikutkan dalam pelatihan.

Jumlah guru yang diikutkan dalam pelatihan, kata dia, sebanyak 254.000 guru untuk dilatih melaksanakan kurikulum itu dengan cara yang baru.

Sebetulnya, kata dia, Kurikulum 2013 cukup baik, hanya saja ketika dilaksanakan serempak tanpa persiapan matang, menimbulkan masalah.

Untuk itu, kata dia, guna melaksanakan kurikulum dengan cara yang baru nantinya tentu harus ada pelatihan hingga semuanya benar-benar siap.

Kabid Pendidikan Menengah Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Kudus, Agus Nuratman, mengungkapkan, guru tingkat SMA/SMK di Kudus juga mulai mengikuti pelatihan Kurikulum 2013 itu.

“Guru yang mengikuti pelatihan secara bergiliran,” ujarnya.

Untuk sekolah tingkat SMA/SMK, kata dia, terdapat lima sekolah yang melaksanakan Kurikulum 2013 dari 43 SMA/SMK baik swasta maupun negeri.

Bagi guru yang belum terbiasa dengan model baru, kata dia, memang terkesan memberatkan, terlebih sistem penilaiannya menggunakan penilaian autentik yang ada instrumennya serta dibuktikan dengan data terukur.

Sebetulnya, kata dia, semua guru bisa menilai masing-masing siswanya sehingga ketika sudah menguasai sistem penilaiannya tentunya tidak akan kerepotan. (Antara)

YLBHI Desak Pemerintah Batalkan Reklamasi Teluk Jakarta

Jakarta – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mendesak pemerintah membatalkan proyek reklamasi Teluk Jakarta karena melanggar HAM nelayan tradisional dan masyarakat pesisir.

Pengurus YLBHI, Wahyu Herawan, dalam pernyataan tertulis di Jakarta, Minggu, menilai penghentian sementara reklamasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan menandakan pemerintah setengah hati dalam menegakkan hak asasi para nelayan tradisional.

“Padahal secara jelas dan nyata telah menimbulkan banyak persoalan dan di sisi lain telah ditolak nelayan,” kata dia.

Berdasarkan catatan YLBHI, pelanggaran HAM pada proyek reklamasi Teluk Jakarta.

Di antaranya hak atas hidup, hak hidup tenteram, aman, damai, bahagia sejahtera dan lahir batin, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak atas pekerjaan yang layak, hak atas bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak, dan hak atas informasi.

“Posisinya jelas bahwa jika reklamasi (Teluk Jakarta) ini diteruskan maka pemerintah Provinsi DKI Jakarta beserta pemerintah pusat telah melanggar hak asasi manusia,” kata pengacara publik YLBHI ini.

Menurut dia, di dalam proyek reklamasi itu terjadi ketimpangan struktural antara negara, korporasi, dan rakyat.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menggunakan kekuasaannya untuk menindas nelayan tradisional dan masyarakat pesisir dengan mengeluarkan kebijakan untuk menundukkan rakyat demi kepentingan korporasi.

“Nelayan tradisional (rakyat) dilemahkan oleh keduanya (korporasi dan pemerintah Provinsi DKI) dengan menutup semua akses. Ketimpangan struktur inilah yang menyebabkan terjadinya pemiskinan struktural, pelanggaran HAM, dan pelanggaran hukum,” kata dia.

Pemiskinan struktural terjadi ketika nelayan tradisional tidak dapat melaut dan mencari ikan karena aksesnya ditutup yang berakibat nelayan tidak mampu untuk mencukupi kebutuhannya.

Dia mengatakan, pengelolaan wilayah pesisir harus berpedoman pada prinsip open acces yaitu masyarakat berhak untuk mengakses secara terbuka wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Juga prinsip common property yakni nelayan memiliki hak hukum untuk memanfaatkan, melindungi, mengelola dan melarang orang luar memanfaatkannya.

“Oleh sebab itu, sudah selayaknya dan dibenarkan bahwa para nelayan melakukan penyegelan pulau (buatan) karena pengelolaan pesisir dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok tertentu dan aksesnya tertutup monopoli,” kata dia. (Antara)

NASIONAL

POLHUKAM