Oleh: Muhammad Syaeful Mujab

Secara beruntun, gelaran elektoral akan dilaksanakan di republik ini. Pada bulan Juni 2018, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) akan dilaksanakan di 171 daerah, dengan 17 diantaranya dilaksanakan pada level provinsi untuk memilih gubernur. Hanya berselang 9 bulan kemudian Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) akan digelar pada tahun 2019. Bahkan hanya berselang 2 bulan setelah Pilkada usai digelar, nominasi calon Presiden via KPU dilakukan. Tak khayal, tahun 2018 dan 2019 disebut-sebut sebagai tahun politik di Indonesia.

Menariknya, Pilkada Serentak 2018 kali ini melibatkan provinsi-provinsi gemuk yang menyumbang proporsi besar dalam populasi suara nasional. Sebut saja Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara. Hampir 80% suara dari populasi nasional akan diperebutkan. Maka tak heran, partai politik berusaha setengah mati untuk menyiapkan kader atau calon yang diusung sebagai bentuk pemanasan menuju gelaran Pilpres 2019 nanti.

Jika diibaratkan sebagai sebuah pertandingan maka Pilkada Serentak 2018 bisa dibilang sebagai pertandingan fase “semifinal” sebelum pertandingan final nanti di Pilpres 2019. Kemenangan di gelaran Pilkada Serentak 2018 diprediksi akan mempengaruhi kemenangan di Pilpres 2019. Sampai detik ini, diprediksi pula, Joko Widodo akan kembali berhadapan secara head to head dengan Prabowo Subianto. Untuk menghadapi pertandingan krusial tersebut, masing-masing partai politik pendukung dua tokoh tersebut nampaknya melakukan ancang-ancang dan betul-betul menyiapkan amunisi melalui gelaran Pilkada serentak 2018 ini.

Dalam konteks sistem presidensial-multipartai, menjalin koalisi menjadi sebuah keniscayaan. Koalisi yang sebenarnya tidak lazim dalam tradisi presidensialisme justru menjadi kebutuhan mendasar dan sulit dihindari dalam sistem presidensial-multipartai. Dalam syarat teknis elektoral yang diatur dalam UU No.10/2016 misalnya. Kandidat musti didukung oleh partai politik/gabungan partai politik yang memiliki paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Sedangkan faktanya, tidak banyak partai politik di Indonesia yang memiliki kemewahan untuk mengusung kandidatnya sendiri, tanpa koalisi. Hal tersebut membuat terbentuknya koalisi partai politik dalam gelaran elektoral di Indonesia menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari.

Kemudian muncul pertanyaan yang menarik, apakah penting membangun koalisi yang linear antara koalisi pilkada dan pilpres? Menurut saya itu penting untuk dilakukan. Gelaran Pilkada Serentak dan Pilpres yang saling berdempetan membuat partai politik tidak punya cukup waktu untuk memanaskan mesin politiknya secara terpisah serta menguji kesolidan koalisi dan kekuatan lawan. Memang, tidak ada garansi bahwa kemenangan di Pilkada akan berbanding lurus dengan kemenangan di Pilpres. Tetapi gelaran Pilkada serentak 2018 dapat menjadi indikator kesuksesan awal menjelang Pilpres 2019, dimana hampir 80% suara dari populasi nasional bisa diperebutkan.

Namun, sayangnya, di beberapa provinsi “gemuk” misalnya, koalisi yang terjalin tidak berjalan secara konsisten. Koalisi Gerindra, PKS, dan PAN misalnya. Setelah kemenangan fenomenal di Pilkada DKI Jakarta, 3 serangkai itu nampaknya semakin percaya diri untuk mematenkan desain koalisi untuk Pilpres 2019, tentu dengan mengusung Prabowo sebagai jagoan mereka seperti yang mereka lakukan di Pilpres 2014.

Sayangnya, koalisi 3 serangkai tersebut mengabaikan momen Pilkada Serentak untuk mengkonsolidasikan diri mereka sebagai koalisi dan menguji kekuatan mesin politik mereka melawan kekuatan mesin politik PDIP cs yang bisa dipastikan akan mengusung Jokowi untuk periode kedua.

Sebagai contoh, pada Pilkada Jawa Timur yang menyumbang populasi pemilih terbesar kedua setelah Jawa Barat, koalisi Gerindra, PKS, PAN justru bubar jalan. Gerindra dan PKS justru mesra dengan PDIP mendukung Gus Ipul-Puti Guntur Soekarno sebagai jagoannya. Hal seperti ini memang seharusnya bukan permasalahan besar dalam politik, namun nampak tak lazim terutama bagi PDIP dan PKS yang memiliki jurang perbedaan ideologis serta PDIP dan Gerindra yang sudah cerai sejak perjanjian batu tulis dikhianati. Mesranya dua kutub politik yang sudah tercipta sejak Pilpres 2014 ini justru menunjukkan sikap koalisi pragmatis yang dilakukan oleh partai-partai tersebut dengan mengusung kandidat dengan elektabilitas nomor wahid. Kasarnya, “sing penting menang!” (red: yang penting menang). Kemenangan di Jawa Timur mitosnya akan sangat mempengaruhi peluang kemenangan dalam Pilpres.

Hal yang serupa juga terjadi di Pilkada Sumatera Utara yang merupakan lumbung suara terbanyak keempat di Indonesia. Partai Nasdem yang selama ini sangat lengket dengan PDIP justru mendukung paslon yang diusung oleh koalisi Gerindra PKS PAN. Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh Golkar.

Fenomena tersebut menunjukkan bahwa partai-partai politik telah mengabaikan kesempatan langka untuk melakukan konsolidasi politik jelang pertarungan yang sesungguhnya di Pilpres 2019. Gelaran Pilkada Serentak 2019 yang merupakan momentum langka dengan pelibatan hampir 80% populasi suara nasional harusnya dapat dijadikan momen konsolidasi sekaligus “uji coba” kekuatan koalisi dan “sparring match” dengan koalisi lawan.

*Muhammad Syaeful Mujab, atau akrab disapa Mujab, merupakan mahasiswa tingkat akhir Departemen Ilmu Politik-FISIP UI. Ia merupakan aktivis mahasiswa yang baru saja menyelesaikan masa jabatannya sebagai Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia Tahun 2017.