Oleh: Ton Abdillah Has

Pemberitaan media dalam seminggu belakangan ini diramaikan oleh berita deklarasi #2019gantipresiden, serta ragam penolakannya di beberapa daerah. Drama penolakan sejumlah orang di Bandara SSK II Pekanbaru terhadap kehadiran Neno Warisman, salah seorang tokoh #2019gantipresiden bahkan dibahas berhari-hari di TV dan media sosial.

Pada mulanya #2019gantipresiden adalah kampanye di media sosial. Namun belakangan, terutama sejak pendaftaran pasangan Capres dan Cawapres di Komisi Pemilihan Umum (KPU), bermetamorfosa menjadi gerakan yang memobilisasi massa dalam bentuk deklarasi. Sehingga tak mengherankan, hal ini diimbangi pula oleh mobilisasi pendukung pemerintah yang menolak kampanye tertutup kelompok oposisi.

Maraknya penolakan atas deklarasi #2019gantipresiden membuktikan bahwa kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang meresahkan dan menimbulkan kegaduhan. Meskipun kebebasan berpendapat, berkumpul/berserikat dilindungi oleh hukum, tetapi secara moral etik rasanya tidak tepat jika digunakan untuk kepentingan politik elektoral tertentu melalui kegiatan politik pecah belah.

Kegiatan deklarasi #2019gantipresiden lebih dari sekedar upaya penyampaian aspirasi, karena sarat propaganda dan kepentingan terselubung untuk tujuan pileg dan pilpres 2019. Terutama jika dilihat dari para inisiator dan penyelenggaranya yang umumnya adalah partisan politik, sehingga sebenarnya dapat dikatagorikan sebagai kampanye dini sebelum jadwal yang bisa dipidana sesuai dengan UU Nomer 7 Tahun 2017 Pasal 492 tentang Pemilu.

Peningkatan eskalasi ketegangan politik di masyarakat ini cukup mengagetkan, mengingat masih lamanya gelaran Pilpres 2019, bahkan sudah terjadi ketika pasangan Capres dan Cawapres belum diresmikan KPU. Perang opini yang awalnya hanya bergulir di media massa dan media sosial, kini bergeser menjadi ketegangan langsung di lapangan. Sebuah situasi yang berpotensi memicu konflik SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan), sesuatu yang niscaya dihindari semua pihak.

Demokrasi Kebablasan

Praktik demokrasi yang kini kita pertontonkan, sejatinya sudah menuju pada demokrasi kebablasan. Keadaan ini merujuk pada praktik politik yang menjauh dari nilai etika dan moral, serta berkelit dari aturan perundangan yang berlaku. Hal ini bisa terlihat pada bentuk penyebaran fitnah, kabar bohong, saling memaki, dan saling menghujat.

Secara sosiologis, liarnya demokrasi Indonesia hari ini, bisa disebut sebagai efek kebijakan politik massa mengambang yang dipraktikkan Orde Baru. Politik massa mengambang ini menempatkan massa sekedar voters semata, bukan sebagai subjek dalam proses politik, sehingga pemilu menjadi ritual lima tahunan. Penerapannya dibarengi dengan represi yang dilakukan secara sistematis, agar rakyat menjauh dari proses politik.

Hanya saja, yang menjadi pertanyaan kita, mengapa demikian lama bangsa ini mengalami euforia pasca keran demokrasi terbuka? Mengapa konsolidasi demokrasi mengalami stagnasi hanya sampai pada fase pelembagaan demokrasi, namun belum jua berhasil menciptakan budaya demokrasi yang substansial.

Pihak oposisi barangkali hanya belajar dari apa yang terjadi pada Jacobo Arbenz, Presiden Guatemala 1951 – 1954, ketika kepentingan private sektor berhasil menumbangkan pemerintahan yang didukung rakyat dengan cara melakukan propaganda yang mendiskreditkan, menyebarkan disinformasi, bahkan memfitnah pemerintahan berkuasa. Namun melupakan, sesungguhnya masyarakat Indonesia sudah jauh lebih cerdas dan maju dalam menyikapi kondisi politik ketimbang elit politiknya sendiri.

Propaganda adalah langkah komunikasi masif yang menggunakan berbagai cara untuk memenangkan komunikasi publik. Propaganda menggunakan informasi bohong atau setengah benar, misleading information, informasi yang bias, atau dengan data-data historis yang dipilih untuk keuntungan misi mereka. Metode politik amoral ini dipopulerkan Josef Goebbels, mitra Hitler membangun Partai Nazi untuk menguasai Jerman dan Eropa.

Propoganda misleading Information yang diperlihatkan dengan rasa sinis antar kelompok nampaknya kian massif menjelang Pilpres 2019 mendatang. Propaganda politik sinisme atau kebencian ini, tentu bertujuan agar masyarakat bisa bersimpati terhadap calon tertentu yang diusung oleh penyebar propaganda politik di balik itu semua.

Kampanye propagandis oposisi melalui tagar ganti presiden, sejatinya hanya perulangan bentuk lain dari politik massa mengambang. Mengutip Mcnamara & Kenning (2011), penggunaan media sosial sebagai transmisi pesan politik satu arah para politisi, hanya akan kembali menempatkan rakyat sebagai objek semata. Terbukti, konten media sosial yang terdiri dari slogan pemilihan, menyerang lawan-lawan dan retorika politik yang sebagian besar bersifat dangkal dan pragmatis. Selain itu, penelitian mereka juga memeriksa korelasi antara “follower/pengikut” dan “following/orang yang mengikuti” sebagai indikator minat timbal balik dan saling mendengarkan pertukaran ide dan gagasan.

Sebagaimana yang jamak kita ketahui, tagar atau disimbol # dipopulerkan oleh Twitter mempunyai peran besar dalam meramaikan percakapan dan menjadi trending topic pada media sosial. Tagar digunakan untuk mengindeks kata kunci atau topik di Twitter, dan memungkinkan pengguna untuk mengikuti topik yang diminati dengan mudah. Belum dewasanya berdemokrasi di Indonesia, yang terlihat nyata dalam perang hastag dan mobilisasi kampanye terselubung, nampaknya kian terang benderang memasuki tahun politik 2019.

Mendewasakan Demokrasi Kita

Marilah kita mulai membangun kesadaran adanya toleransi dan saling menghargai perbedaan politik, karena keduanya adalah prasyarat bagi demokrasi yang berkeadaban. Dalam politik, tentu saja pilihannya adalah berkuasa atau beroposisi, dua pilihan yang sama baiknya dalam demokrasi. Berkuasa artinya menjalankan pemerintahan sebagaimana cita-cita kampanye, sedangkan menjadi oposisi berarti menjadi penyeimbang sembari bersiap berkuasa melalui jalan demokratis.

Keindahan demokrasi ini sudah digambarkan Presiden Joko Widodo dalam pernyataannya di Gedung Joeang, Jakarta, sesaat sebelum mendaftar ke KPU (jumat, 10/8/2018). Menurut Jokowi, demokrasi itu gembira, jangan sampai tidak saling sapa antar tetangga, sehingga kita kehilangan persaudaraan, karena persatuan dan kesatuan adalah aset terpenting yang mesti kita jaga bersama. Jadi, mari kita bertarung gagasan dan mengadu fakta, lalu biarkan rakyat memutuskan, tetap Jokowi atau ganti presiden.

Penulis adalah Koordinator Presidium Koalisi Nasional Relawan Muslim Indonesia (KN RMI) dan Mantan Ketua Umum DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah 2010-2012