Jakarta – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mendesak pemerintah membatalkan proyek reklamasi Teluk Jakarta karena melanggar HAM nelayan tradisional dan masyarakat pesisir.

Pengurus YLBHI, Wahyu Herawan, dalam pernyataan tertulis di Jakarta, Minggu, menilai penghentian sementara reklamasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan menandakan pemerintah setengah hati dalam menegakkan hak asasi para nelayan tradisional.

“Padahal secara jelas dan nyata telah menimbulkan banyak persoalan dan di sisi lain telah ditolak nelayan,” kata dia.

Berdasarkan catatan YLBHI, pelanggaran HAM pada proyek reklamasi Teluk Jakarta.

Di antaranya hak atas hidup, hak hidup tenteram, aman, damai, bahagia sejahtera dan lahir batin, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak atas pekerjaan yang layak, hak atas bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak, dan hak atas informasi.

“Posisinya jelas bahwa jika reklamasi (Teluk Jakarta) ini diteruskan maka pemerintah Provinsi DKI Jakarta beserta pemerintah pusat telah melanggar hak asasi manusia,” kata pengacara publik YLBHI ini.

Menurut dia, di dalam proyek reklamasi itu terjadi ketimpangan struktural antara negara, korporasi, dan rakyat.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menggunakan kekuasaannya untuk menindas nelayan tradisional dan masyarakat pesisir dengan mengeluarkan kebijakan untuk menundukkan rakyat demi kepentingan korporasi.

“Nelayan tradisional (rakyat) dilemahkan oleh keduanya (korporasi dan pemerintah Provinsi DKI) dengan menutup semua akses. Ketimpangan struktur inilah yang menyebabkan terjadinya pemiskinan struktural, pelanggaran HAM, dan pelanggaran hukum,” kata dia.

Pemiskinan struktural terjadi ketika nelayan tradisional tidak dapat melaut dan mencari ikan karena aksesnya ditutup yang berakibat nelayan tidak mampu untuk mencukupi kebutuhannya.

Dia mengatakan, pengelolaan wilayah pesisir harus berpedoman pada prinsip open acces yaitu masyarakat berhak untuk mengakses secara terbuka wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Juga prinsip common property yakni nelayan memiliki hak hukum untuk memanfaatkan, melindungi, mengelola dan melarang orang luar memanfaatkannya.

“Oleh sebab itu, sudah selayaknya dan dibenarkan bahwa para nelayan melakukan penyegelan pulau (buatan) karena pengelolaan pesisir dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok tertentu dan aksesnya tertutup monopoli,” kata dia. (Antara)