Jakarta – Komisi Pemberantasan Korupsi mengapresiasi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak permohonan praperadilan yang diajukan Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) terhadap lembaga antirasuah itu terkait lamanya penanganan perkara RJ Lino.

“Kami mendapat imformasi terkait praperadilan yang diajukan MAKI terkait penangan perkara Pelindo dengan tersangka RJ Lino. Jadi, KPK sampaikan apresiasi terhadap putusan praperadilan tersebut,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Kamis.

Ia menyatakan bahwa Hakim secara tegas menolak eksepsi dan menyatakan tidak menerima seluruh permohonan yang diajukan oleh MAKI itu.

“Ini penting karena hakim menegaskan tidak ada yang dikenal dengan penghentian secara materiil. Apalagi KPK menurut Pasal 40 Undang-Undang 30 Tahun 2002 tidak berwenang untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi. Sampai saat ini KPK masih menangani penyidikan ini,” tuturnya. Menurut dia, ada lebih dari 55 orang saksi telah diperiksa untuk tersangka RJ Lino untuk mempertajam bukti kasus Pelindo tersebut.

“Prinsipnya KPK menangani kasus itu harus secara hati-hati dan kami harus sangat yakin dengan bukti yang ada sampai ditingkatkan ke proses yang lebh lanjut,” kata Febri. Meski demikian, kata dia, lembaganya menghargai peran masyarakat jika ingin melakukan pengawalan terhdap kasus korupsi tersebut.

“Sehingga kami akan menjelaskan bagaimana perkembangan dan penanganan kasus tersebut. Prinsip dasarnya, KPK berkomitmen menangani kasus ini,” ujar Febri.

Ada pun unsur dari 55 saksi yang telah diperiksa untuk tersangka RJ Lino antara lain pegawai dan pejabat serta mantan pegawai PT Pelindo II (Persero), pegawai pada BPKP, pegawai pelabuhan, pegawai dan pejabat PT Lloyd’s Register Indonesia, pemilik PT Jayatech Solution Perkasa, Direksi PT Jayatech Putra Perkasa, dan unsur swasta lainnya.

RJ Lino sendiri sampai saat ini belum ditahan KPK meskipun telah ditetapkan sebagai tersangka kasus pengadaan tiga QCC.

Sebelumnya, RJ Lino ditetapkan KPK sebagai tersangka pada 15 Desember 2015 karena diduga memerintahkan pengadaan tiga QCC dengan menunjuk langsung perusahaan HDHM (PT Wuxi Hua Dong Heavy Machinery. Co.Ltd.) dari China sebagai penyedia barang.

Menurut KPK, pengadaan tiga unit QCC tersebut tidak disesuaikan dengan persiapan infrastruktur yang memadai (pembangunan powerhouse), sehingga menimbulkan in-efisiensi atau dengan kata lain pengadaan tiga unit QCC tersebut sangat dipaksakan dan suatu bentuk penyalahgunaan wewenang dari RJ Lino selaku Dirut PT Pelabuhan Indonesia II demi menguntungkan dirinya atau orang lain.

Berdasarkan analisa perhitungan ahli teknik dari Institut Teknologi Bandung (ITB) yang menyatakan bahwa analisa estimasi biaya dengan memperhitungkan peningkatan kapasitas QCC dari 40 ton menjadi 61 ton, serta eskalasi biaya akibat dari perbedaan waktu terdapat potensi kerugian keuangan negara sekurang-kurangnya 3.625.922 dolar AS (sekitar Rp50,03 miliar) berdasarkan Laporan Audit Investigatif BPKP atas Dugaan Penyimpangan Dalam Pengadaan 3 Unit QCC Di Lingkungan PT Pelindo II (Persero) Tahun 2010 Nomor: LHAI-244/D6.02/2011 Tanggal 18 Maret 2011.