Makassar – Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) dan Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri menyepakati kerja sama sosialisasi Undang-Undang Desa dan kearifan lokal di Indonesia.

Kesepakatan itu dilakukan melalui penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antarkedua pihak di sela acara seminar nasional bertema “Peningkatan Peran Perguruan Tinggi dalam Mewujudkan Desa yang Mandiri, Maju, dan Sejahtera Sesuai UU No.6/2014 tentang Desa” di Universitas Bosowa, Makassar, Kamis.

“Saat ini ada sekitar 74.910 desa di seluruh Indonesia, sementara di Sulawesi ada sekitar 2.257 desa. Pertanyaannya sederhana, sejauh mana peran perguruan tinggi mengabdikan dirinya untuk membangun desa?” kata Direktur Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kemendagri, Nata Irawan di Makassar.

Ia lanjut menjelaskan, tata kelola anggaran dan peningkatan kapasitas aparatur desa merupakan sejumlah tantangan yang harus dipecahkan bersama oleh para pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah pusat, daerah, dan para akademisi.

“Target kami, Bina Pemerintahan Desa akan melatih sekitar 220 ribu aparatur desa, diawali dengan pembimbingan terhadap 100 orang pelatih utama, kemudian berlanjut ke provinsi, kabupaten, dan desa,” tambahnya.

Nata menerangkan, pemerintah saat ini tengah fokus melakukan pemberdayaan ke para aparatur desa, khususnya di empat sektor. “Isu yang penting, meningkatkan kapasitas aparatur desa dalam tata kelola pemerintahan, penyusunan peraturan desa, pengelolaan keuangan, dan perencanaan pembangunan desa,” terang Nata.

Sejak pemerintah mengesahkan UU Desa pada 2014, sekitar puluhan triliun rupiah telah dikucurkan langsung dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk membangun dan memberdayakan desa.

“Pemerintah mengalokasikan Rp 20 triliun dana desa pada 2015, nilai itu meningkat jadi Rp 40 triluin pada 2016, dan tahun ini anggarannya sudah mencapai 60 triliun. Jadi, rata-rata tiap desa menerima sekitar Rp 800 juta per tahun. Namun itu baru dana dari APBN, belum dihitung berbagai kucuran alokasi dana dari anggaran provinsi, kabupaten, atau retribusi dan sumber yang sah lainnya,” jelas Nata.

Ia menambahkan, jika aparatur desa tidak mendapat pembekalan yang cukup, maka Dana Desa itu akan menjadi bencana, karena terancam, misalnya dikorupsi oleh para oknum.

Sebelumnya, Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA), St. Laksanto Utomo mengatakan, perjanjian kerja sama lembaganya dengan Kemendagri itu bertujuan untuk meningkatkan peran perguruan tinggi untuk membantu pemerintah mensosialisasikan UU Desa.

“Asosiasi kami terdiri atas berbagai pengajar hukum adat berbagai universitas yang tersebar di seluruh provinsi. Kekuatan itu dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan program sosialisasi UU Desa ke berbagai kalangan masyarakat di daerah,” kata Laksanto di Makasar.

Di samping sosialisasi, kerja sama pembimbingan untuk pelatih atau “train of trainers” (ToT) juga akan dibicarakan. “Dalam pelatihan itu nantinya, kearifan lokal dan pengetahuan mengenai hukum adat menjadi beberapa topik penting yang harus didalami,” tambahnya.

Setelah penandatanganan nota kesepahaman, Laksanto menambahkan, APHA kemungkinan akan turut mengadakan kerja sama dengan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

“Program APHA selanjutnya kita kemungkinan akan mengusulkan kerja sama dengan KY dan MA, khususnya mengenai eksaminasi putusan pengadilan yang kurang mendalami adanya kearifan lokal dan aturan adat sebagai hukum yang hidup di masyarakat,” terang Laksanto seraya menambahkan, sebelum penandatangan MoU, sejumlah pakar dan pengajar hukum adat di berbagai universitas di Indonesia telah mengadakan “Focus Group Discussion” di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Rabu.

“FGD itu merupakan upaya mengingatkan kembali para akademisi dan penegak hukum bahwa banyak putusan yang mengesampingkan rasa keadilan, khususnya terkait beberapa sengketa terkait hukum adat dan kearifan lokal. Para penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa, dan hakim perlu menyadari kearifan lokal itu adalah living law (hukum yang hidup) dan perlu ditumbuhkembangkan dalam praktik peradilan nasional,” terang Laksanto. (Ant)