Menyambut Kembalinya Mata Pelajaran Pendidikan Moral Pancasila

Jakarta – Setelah sekitar 20 tahun tidak diajarkan di sekolah-sekolah dan bangku kuliah, wacana perlunya mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) kini muncul ke publik.

Wacana itu dimunculkan Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Supriano usai menghadiri upacara peringatan Hari Guru di gedung Kemendikbud, Jakarta, Senin (26/11). Langkah ini sebagai upaya untuk menguatkan nilai-nilai Pancasila sejak dini bagi peserta didik.

Namun Supriano mengakui, wacana pengembalian mata pelajaran PMP ini masih dalam bentuk rencana dan pembahasan. Dia juga belum bisa memastikan materi PMP yang akan diajarkan kepada siswa di sekolah nantinya dalam bentuk materi lama seperti PMP di masa Orba atau justru materi baru.

Dilihat dari sejarahnya, mata pelajaran PMP sebenarnya bukan hal baru. Justru bisa dikatakan sebagai mata pelajaran lama karena pernah diajarkan mulai 1975

Waktu itu PMP merupakan pelajaran wajib di semua jenjang sekolah di era Orde Baru untuk menggantikan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraa (PKn) yang telah diajarkan sejak 1968.

Setelah sekitar 20 tahun diajarkan, pemerintah kemudian menggabungkan dengan pelajaran PKn menjadi Pendidikan Pancasila dan Kwarganegaraan (PPKn). Itu terjadi pada 1994.

Namun ketika Orde Baru tumbang pada 1998, PPKN diubah lagi menjadi hanya PKN. Pendidikan Pancasila diangap sebagai warisan Orde Baru sehingga tidak diajarkan lagi.

Meski telah diajarkan, harus diakui substansinya masuk dalam pelajaran PKn. Hanya saja bersifat umum dan siswa tidak mendalami betul Pancasila..

Hal itu menimbulkan kekhawatiran sejumlah pihak. Apalagi di era saat ini dengan munculnya ideologi yang dinilai menyimpang dari nilai-nilai Pancasila.

Munculnya ideologi-ideologi yang radikal semakin memunculkan kekhawatiran tersebut. Karena itu, secara saup-saup diusulkan agar pendidikan Pancasila diajarkan lagi.

Salah satu pihak yang mengusulkan adalah Sultan Keraton Kasepuhan Kota Cirebon, Jawa Barat, Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat. Usul itu disampaikan Sultan Arief di Cirebon pada Sabtu (2/6/2018) terkait momentum Hari Lahirnya Pancasila yang diperingati setiap 1 Juni.

Dia mengusulkan agar PMP, sejarah bangsa Indonesia dan agama diterapkan lagi serta diperbanyak jam pelajarannya.

Hal itu karena Pancasila merupakan dasar negara yang harus disyukuri oleh masyarakat Indonesia yang di dalamnya terkandung nilai-nilai yang luhur.

Untuk itu seharusnya memang Pancasila harus dijaga dan tidak boleh tergantikan. Maka dengan cara kembali menerapkan PMP di sekolah merupakan salah satu upaya untuk menjaga idiologi Pancasila.

Setelah 20 tahun PMP tidak diajarkan, kata Arief, nilai luhur Pancasila sekarang mulai luntur di era reformasi dan demokrasi serta era media sosial. Apalagi radikalisme dan premanisme di setiap lini kehidupan meningkat.

Selain itu, kebebasan berpendapat diterjemahkan dengan bicara seenaknya sehingga tidak sopan. Bahkan cenderung menyinggung dan memfitnah.

Budaya sopan, budaya santun, tertib, toleransi dan gotong royong semakin terdegradasi dan memudar. Untuk itu perlu segera ada tindakan yang revolusioner agar bangsa Indonesia kembali kepada jatidiri bangsanya.

Diintensifkan
Jauh sebelum Sultan Arie, usul serupa juga pernah disampaikan Anggota Komisi X DPR RI Anang Hermansyah dalam pernyataan yang disampaikan kepada Antara News pada 17 Desember 2016. Dia mengharapkan pemerintah melaksanakan kembali pendidikan Pancasila di sekolah maupun di perguruan tinggi.

Pada masa lalu, ada mata pelajaran Civics tentang dasar negara dan kewarganegaraan, yang lalu berubah menjadi Pendidikan dan Moral Pancasila di tingkat pendidikan dasar dan menengah. Di tingkat lebih tinggi, ada program penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang diberikan berdasarkan pola paket.

Dia mengusulkan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, mata pelajaran dan mata kuliah pendidikan Pancasila diintensifkan lagi. Sifatnya bukan komplementer, melainkan elementer.

Penanaman terhadap ideologi Pancasila sebagai norma dasar berbangsa dan bernegara dapat menjadi tameng terhadap ideologi “impor” yang masuk ke Indonesia. Dia pun meyakini bila Pancasila dipahami dan dilaksanakan secara paripurna dapat menangkal efek negatif ideologi asing.

Pintunya terletak di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Ristek Dikti untuk merumuskan soal pendidikan Pancasila masuk dalam mata pelajaran dan mata kuliah.

Untuk mewujudkan gagasan tersebut, Anang mengatakan bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi dapat bekerjasama dengan MPR untuk menyusun soal pendidikan Pancasila bagi generasi muda.

MPR sejak 2009 telah menjadi lembaga yang menyebarluaskan empat pilar, yakni Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI..

MPR bisa dijadikan mitra pemerintah untuk menyusun peta jalan bagi diajarkannya pendidikan Pancasila.

Sangat Baik
Kini usul mengembalikan PMP yang disuarakan beragam pihak mulai mendapat respons dari pemerintah. Pernyataan Supriyanto adalah sinyal terang menanggapi usul tersebut.

Apalagi berbagai pihak juga memberi dukungan. Dengan demikian kembalinya PMP diperkirakan tidak tidak banyak kendala.

Hanya saja, karena respons itu disampaikan masih dalam wujud wacana kemungkinan belum dilaksanakan pada tahun ajaran ini. Kalaupun akan dilaksanakan pada tahun ajaran ini, bisa jadi dimulai pada triwulan atau caturwulan mendatang.

Bisa saja cukup menambah bobot materi pada pelajaran PKn. Baru kemudian menjadi pelajaran tersendiri pada tahun ajjaran mendatang.

Yang perlu dipertimbangkan adalah bagaimana dengan PKn ketika pemerintah akan menghidupkan lagi PMP. Apakah akan menjadi dua mata pelajaran atau dilakukan penggabungan lagi?

Bagaimana teknis pengajarannya nanti, bagi Ketua MPR RI Zulkifli Hasan wacana Kemendikbud untuk menghidupkan kembali mata pelajaran PMP sangat baik sehingga akan mampu menguatkan karakter anak-anak didik Indonesia.

Selepas Orde Baru dan memasuki era reformasi, pelajaran tentang Pancasila hilang dari kurikulum pendidikan Indonesia. Karena hilang, tidak disebut-sebut lagi maka anak bangsa tidak lagi perduli terhadap Pancasila sebagai ideologi bangsa yang penuh nilai-nilai yang baik.

Zulkifli menuturkan hilangnya atau tidak lagi disentuhnya Pancasila sebagai ideologi negara selama 20 tahun reformasi bergulir berdampak sangat berbahaya terutama kepada anak-anak muda bangsa. Mereka tidak mengenal Pancasila sebagai ideologi, maka mereka anak-anak muda akan mencari ideologi-ideologi lain sesuai pemahamannya masing-masing.

Itu akan sangat berbahaya. Karena itu, kembalinya mata pelajaran PMP akan membuat mata dan hati serta jiwa anak-anak muda Indonesia kembali memahami bahwa Pancasila sebagai ideologi. Pemahaman terhadap Pancasila mulai luncur padahal sarat akan nilai-nilai luhur yang mampu menjaga seluruh bangsa bersatu dalam wadah NKRI.

Dengan penanaman ideologi Pancasila, maka anak-anak muda tidak perlu berpaling kepada ideologi lainnya. Tapi dia menyarankan jika benar terwujud PMP menjadi mata pelajaran kembali, maka metodenya harus disesuaikan dengan anak-anak muda zaman sekarang atau era kekinian.

Era saat ini tidak bisa lagi seperti dulu dengan doktrinasi harus “begini dan begitu”. Anak muda sekarang tidak bisa lagi metodenya seperti itu.

Modifikasi
Ketua DPR Bambang Soesatyo juga mendukung wacana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengembalikan mata pelajaran PMP. Hanya saja harus ada inovasi metode atau cara penyampaian pelajaran tersebut.

Misalnya, menggunakan metode interaktif sehingga mata pelajaran PMP tidak hanya dihapal saja tetapi dipahami secara mendalam.

Dia berharap Komisi X DPR bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan segera membahas program dan kurikulum yang baku agar ada kepastian dalam penerapan mata pelajaran PMP. Hal itu agar mata pelajaran PMP yang dulunya merupakan mata pelajaran wajib kemudian ditiadakan dan saat ini akan dikembalikan lagi.

Terkait dengan metode penyampaian materi PMP itu juga menjadi sorotan Anang Hermansyah. Dia senang usulnya mendapat respons, namun implementasi pengajar PMP saat ini perlu ada modifikasi sesuai kebutuhan dan perkembangan zaman.

Pendidikan Pancasila di bangku sekolah dan perguruan tinggi saat ini tentu berbeda seperti yang terjadi pada era Orde Baru.

Pendidikan Pancasila saat ini harus dilakukan secara partisipatoris, emansipatoris dan aplikatif dalam kehidupan sehari-hari.

Musisi dan politikus asal Jember ini menguraikan modifikasi yang dimaksud terkait dengan materi dan pola penyampaian materi. Materi PMP harus dimodifikasi dengan perkembangan dan kebutuhan zaman.

Materi PMP harus disesuaikan dengan kebutuhan generasi millennial yang berkarakter inovatif dan kreatif.

Selain itu, Anang menambahkan, PMP juga dapat dijadikan mata pelajaran yang berisi national interest (kepentingan nasional) bagi bangsa Indonesia terkait proyeksi SDM Indonesia di waktu mendatang.

Yang tak kalah pentingnya adalah menghilangkan kesan lama bahwa PMP materi komplementer yang menjenuhkan. Karena itu, pemerintah perlu membuat pelatihan khusus bagi tenaga pendidik dalam penyampaian materi PMP. (Ant)