Jakarta – Kisruh ditubuh KPK terkait Test Wawasan Kebangsaan yang melibatkan Komnas HAM mendapat sorotan dari pengamat politik dan hukum sekaligus Ketua Setara Institute, Hendardi. Dalam rilis yang diterima media, Hendardi mengatakan bahwa yang dilakukan Komnas HAM terkesan mengada-ada.

“Pemanggilan yang dilakukan Komnas HAM terhadap pimpinan KPK dan BKN bukan saja tidak tepat tetapi juga berkesan mengada-ada karena seperti hanya terpancing irama genderang yg ditabuh 51 pegawai KPK yg tidak lulus TWK. Jumlahnya kurang dari 5,4 % pegawai KPK,” tegas Hendardi, Jum’at (11/6/2021) di Jakarta.

Menurut Hendardi, TWK yang diselenggarakan KPK semata-mata adalah urusan administrasi negara.

“Test Wawasan Kebangsaan (TWK) yang diselenggarakan KPK melalui vendor BKN dan beberapa instansi terkait yg profesional adalah semata urusan administrasi negara yang masuk dalam lingkup hukum tata negara (HTN). Dan hal ini merupakan perintah UU dalam rangka alih tugas pegawai KPK menjadi ASN. Jika ada penilaian miring atas hasil TWK ini mestinya diselesaikan melalui hukum administrasi negara, bukan wilayah hukum HAM, apalagi pidana,” ujar Hendardi lagi.

Hendardi menduga, tindakan yang dilakukan Komnas HAM ingin mengesankan seolah-olah ada pelanggaran HAM yang terjadi.

“Pemanggilan Komnas HAM terhadap pimpinan KPK dan BKN ingin mengesankan seolah ada aspek pelanggaran HAM yang terjadi. Semestinya Komnas HAM meneliti dan menjelaskan dahulu ruang lingkup dan materi dimana ada dugaan pelanggaran HAM yg terjadi sebelum memanggil pimpinan KPK dan BKN,” tegas Hendardi lagi.

Selanjutnya, Hendardi berharap Komnas HAM dapat bekerja dengan profesional dan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.

“Analoginya, jika misalkan ada mekanisme seleksi untuk pegawai Komnas HAM dan kemudian ada sebagian kecil yang tidak lulus apakah mereka bisa otomatis mengadu ke Komnas HAM dan langsung diterima dengan mengkategorisasi sebagai pelanggaran HAM? Dalam setiap pengaduan ke Komnas HAM diperlukan mekanisme penyaringan masalah dan prioritas yang memang benar-benar memiliki aspek pelanggaran HAM, agar Komnas HAM tidak dapat dengan mudah digunakan sebagai alat siapapun dengan interes apapun. Komnas HAM harus tetap dijaga dari mandat utamanya sesuai UU untuk mengutamakan menyelesaikan dan menangani kasus-kasus pelanggaran HAM berat (gross violation of Human Rights),” harap Hendardi.

Terkait persoalan alih status menjadi ASN, Hendardi menganggap wajar jika Pemerintah menetapkan kriteria-kriteria tertentu sesuai amanat UU. Karena untuk menjadi calon pegawai negeripun memerlukan syarat-syarat tertentu termasuk melalui sejumlah test antara lain tentang kebangsaan.

“Menjadi ironi ketika di berbagai instansi negara lainnya untuk menjadi calon ASN maupun menapaki jenjang kepangkatan harus melewati berbagai seleksi termasuk TWK, namun ada segelintir pegawai KPK yang tidak lulus yang menuntut diistimewakan. Dalam konteks seleksi ASN memang bisa saja pelanggaran terjadi misalnya seseorang tidak diluluskan atau karena tidak dipenuhi hak-haknya ketika diberhentikan dari pekerjaannya . Tapi tentu harus dibuktikan dengan data yang valid,” urainya.

Hendardi berharap agar polemik dan manuver politik pihak yg tidak lulus TWK ini dihentikan karena tidak produktif dan tersedia mekanisme hukum PTUN untuk memperjuangkan aspirasi mereka. (A1)