SAHABAT RAKYAT, Jakarta — Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Keluarga dan Kependudukan Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Woro Srihastuti Sulistyaningrum menegaskan arti penting implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 dalam menciptakan ruang digital yang aman dan ramah anak.

Deputi Lisa menekankan bahwa PP 17/2025 merupakan langkah konkret pemerintah dalam merespons maraknya dampak negatif paparan digital terhadap anak-anak, termasuk konten tidak layak, risiko adiksi digital, hingga eksploitasi data pribadi anak.

“Data menunjukan bahwa anak-anak mencakup 28,65% dari total penduduk Indonesia atau sekitar 79,8 juta jiwa. Akses anak terhadap teknologi dan informasi terus meningkat, terutama di perkotaan dan pada anak perempuan. Pada 2023, sebanyak 81,52% anak usia 7–17 tahun menggunakan ponsel, dan 55,94% pernah mengakses internet, mayoritas untuk hiburan. Namun, hanya 37,5% anak  yang pernah menerima informasi tentang keamanan berinternet. Indonesia juga menghadapi tantangan serius sebagai peringkat ke-4 dunia dalam kasus pornografi anak secara online,” jelasnya dalam Diskusi Terfokus “Implementasi PP 17/2025 dan Upaya Perlindungan serta Pemenuhan Hak Anak di Ruang Digital” yang digelar di Jakarta Pusat.

Deputi Lisa menyatakan peraturan ini mengatur kewajiban semua penyelenggara sistem elektronik (PSE), baik publik maupun privat, untuk melakukan klasifikasi konten, verifikasi usia, serta menyediakan fitur kontrol orang tua. PP ini juga mewajibkan pengaturan privasi ramah anak serta penyediaan informasi yang mudah dipahami oleh anak dan juga orang tua.

Lisa juga menyoroti tantangan besar yang dihadapi dalam implementasi PP tersebut. Di antaranya adalah rendahnya literasi digital di kalangan anak dan orang tua, ketidaksiapan infrastruktur di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) serta belum optimalnya sinergi lintas kementerian dan lembaga.

“Tanpa koordinasi yang kuat dan pendekatan menyeluruh, kebijakan ini sulit berdampak nyata,” tegasnya.

Ia pun mendorong seluruh pemangku kepentingan—termasuk pemerintah daerah, dunia pendidikan, komunitas, dan sektor swasta—untuk mengambil peran aktif.

“Perlindungan anak di ruang digital adalah tanggung jawab bersama. Tidak bisa hanya dibebankan pada satu sektor,” kata Lisa.

Menurut Lisa, keterlibatan industri digital sebagai mitra strategis juga sangat penting. Platform global pun diharapkan bisa patuh dan berkomitmen terhadap kebijakan nasional. Selain itu, anak-anak juga harus dilibatkan sebagai subjek perlindungan, dengan membuka ruang partisipasi anak dalam menyuarakan pengalaman dan kebutuhan di dunia maya.

Dalam kesempatan yang sama Sekretaris Ditjen Pengawasan Ruang Digital Komdigi,  Mediodecci Lustarini menyampaikan bahwa PP Nomor 17 Tahun 2025 disusun melalui proses panjang dan partisipatif yang melibatkan berbagai kementerian/lembaga, organisasi masyarakat sipil, pelaku industri digital, hingga kelompok anak dan orang tua.

“Dimulai sejak Januari 2024 dengan pengesahan UU 1/2024, proses berlanjut dengan penyusunan draf awal, konsultasi publik, rapat harmonisasi lintas sektor, hingga akhirnya ditetapkan pada awal tahun 2025,” tuturnya.

Untuk mendukung pelaksanaan aturan ini, pemerintah juga tengah menyiapkan peraturan turunan berupa Peraturan Menteri yang mengatur lebih rinci tentang tata cara penilaian risiko, klasifikasi usia anak, prosedur pengawasan, dan mekanisme sanksi administratif agar implementasi kebijakan ini dapat berjalan efektif dan terukur di lapangan.

Dalam mendukung implementasi PP Tunas, pihaknya tengah mengembangkan strategi komunikasi yang komprehensif dan berorientasi pada perubahan perilaku. Strategi ini mencakup kampanye literasi digital yang menyasar anak-anak, orang tua, pendidik, serta penyelenggara sistem elektronik, dengan pendekatan berbasis bukti dan partisipatif.

“Kami juga akan memanfaatkan berbagai kanal komunikasi digital dan konvensional, termasuk media sosial, siaran publik, kolaborasi dengan komunitas, hingga penyusunan materi edukatif yang ramah anak, guna memastikan pemahaman yang merata dan mendalam terkait substansi dan pentingnya perlindungan anak di ruang digital sesuai amanat PP 17 Tahun 2025”, ujar Mediodecci.

Dalam diskusi implementasi PP 17 Tahun 2025 ini, Vice President dan Global Head of Safety Meta, Antigone Davis, menegaskan komitmen Meta dalam melindungi anak dan remaja di ruang digital melalui pendekatan berlapis yang mencakup desain berbasis kepentingan terbaik anak, perlindungan privasi secara default, serta fitur pengawasan orang tua.

“Meta telah menerapkan berbagai kebijakan ketat untuk mencegah eksploitasi anak, termasuk pelarangan konten seksual eksplisit dan sistem pelaporan yang kuat. Inovasi seperti “Take It Down” dan teknologi pendeteksi gambar eksploitasi anak digunakan untuk mencegah penyebaran konten berbahaya. Selain itu, akun remaja di platform Meta dilengkapi batasan ketat terkait interaksi, konten, dan waktu penggunaan, serta terus dievaluasi untuk meningkatkan keselamatan dan kesejahteraan digital anak secara global,” jelasnya.

Deputi Lisa menutup rangkaian diskusi dengan ajakan untuk memperluas literasi digital hingga ke tingkat rumah tangga dan komunitas. Ia menekankan bahwa edukasi berbasis komunitas, monitoring evaluasi transparan, serta penyusunan indikator keberhasilan yang jelas harus menjadi komponen utama pelaksanaan PP 17/2025.

Dengan semangat kolaborasi lintas sektor, Kemenko PMK optimis bahwa ruang digital di Indonesia akan semakin aman guna mendukung tumbuh kembang anak secara optimal, sesuai dengan cita-cita pembangunan manusia yang menjadi prioritas nasional.

“Anak-anak bukan sekadar pengguna internet masa kini, mereka adalah arsitek masa depan negeri ini. Ruang digital harus menjadi taman tumbuh mereka—bukan ladang ancaman. Dan taman itu, kita yang bertanggung jawab merawatnya,” tutup Lisa. (Red)