Pemerintah Genjot Produksi Pangan Lokal, Subtitusi Komoditas Impor

Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) menggenjot produksi sejumlah pangan lokal untuk menggantikan atau subtitusi komoditas pangan yang selama ini masih bergantung dengan impor, seperti gandum.

Direktur Serealia Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementan M Ismail Wahab dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Sabtu, mengatakan Indonesia masih mengimpor jagung pangan, kedelai, dan gandum.

Oleh karena itu, kata dia, Kementan menyiapkan strategi berupa peningkatan produktivitas dan diversifikasi pangan lokal di tengah potensi krisis pangan dunia.

“Kita masih mengimpor jagung untuk pangan. Ini yang cukup besar. Tahun ini kita mencoba bagaimana jagung pakan ini bisa mensubstitusi jagung untuk pangan,” katanya.

Ismail mengatakan saat ini Indonesia baru bisa memenuhi kebutuhan jagung pakan dalam negeri. Besaran impor jagung pangan pada 2021 mencapai 987.005 ton atau senilai Rp1,2 triliun. Mulai tahun ini, lanjutnya, pemerintah berupaya mendongkrak produksi jagung rendah aflatoksin untuk menggantikan jagung pangan impor.

“Ini akan kita lakukan sehingga impornya bisa dikurangi dengan adanya produksi dalam negeri,” katanya.

Untuk itu Kementan menerapkan kewajiban serap jagung lokal, menduplikasi produk jagung rendah aflatoksin di daerah sentra jagung, dan penggunaan benih jagung yang memiliki kandungan pati tinggi. Uji coba produksi akan dilakukan di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.

Ismasil menjelaskan stok jagung dalam negeri masih relatif baik. Bahkan ada pengajuan dari beberapa pengusaha dan pengepul jagung untuk mengekspor jagung sebanyak 5.000 ton. Tapi permintaan itu belum diberi lampu hijau oleh pemerintah karena khawatir stok di dalam negeri tidak cukup.

Sementara untuk kedelai, lanjutnya, pemerintah telah mulai menanam di luas area 350.000 hektare tahun ini. Kemudian pada 2023 luas tanamnya ditargetkan naik menjadi 900.000 hektare, tahun 2024 seluas 1,15 juta hektare, tahun 2025 seluas 1,4 juta hektare, dan pada 2026 seluas 1,5 juta hektare.

“Dengan target ini kita sudah bisa mencapai untuk memenuhi kebutuhan kita sendiri,” kata Ismail. Tahun lalu impor kedelai Indonesia tercatat sebesar 7,91 juta ton, dengan rincian bungkil kedelai 4,9 juta ton dan biji kedelai 2,5 juta ton.

Baca juga: Mewujudkan kearifan lokal untuk ketahanan pangan nasional

Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan gandum dalam negeri yang harganya naik karena imbas perang Rusia-Ukraina, pemerintah mempertimbangkan beberapa tanaman pangan lokal untuk mensubstitusinya, seperti singkong, sagu, dan sorgum. “Sorgum saya kira tanaman yang berpotensi besar untuk menggantikan gandum,” katanya.

Ismail menekankan dibutuhkan bantuan teknologi pangan untuk memberi sorgum kemampuan yang sama dengan gandum yaitu memiliki kandungan gluten atau zat yang mampu mengembang ketika diolah.

Pada 2021 impor gandum tercatat 11,69 juta ton. Pemerintah menargetkan pengurangan impor komoditi tersebut secara bertahap, yaitu impor gandum berkurang 5 persen tahun ini, menurun 10 persen di 2023, hingga di tahun 2025 impor gandum berkurang 20 persen.

“Tahun depan kita akan mengembangkan sorgum 55.000 hektare. Tahun ini baru 15.000 hektare, lalu kita usulkan tambahan 40.000. Total tahun 2023 ada 55.000 hektare. Ini antisipasi seandainya gandum benar-benar langka di dunia,” kata Ismail. (Ant)