Kebahagiaan akan hadirnya anggota baru dalam keluarga kecil seorang pasangan suami istri adalah hal yang paling dinanti setelah perjuangan panjang 10 bulan (40 minggu) usia kehamilan. Kebahagiaan tersebut dapat tercapai ketika bayi dapat lahir selamat dan ibu tetap sehat. Menjaga kesehatan ibu dan anak tentu tidak lepas dari peran dan dukungan dari seorang suami. Suami harus siaga menjaga istri dan calon anaknya baik selama masa kehamilan sampai bersalin dan nifas. Peran suami siaga sangat diperlukan guna mencegah segala bentuk komplikasi kehamilan, persalinan atau nifas yang dapat mengancam nyawa ibu dan anak. Dengan kata lain, peran suami siaga dapat membantu mencegah terjadinya kasus kematian ibu dan anak.

Kasus kematian ibu di Indonesia disebabkan oleh beberapa penyebab seperti perdarahan, hipertensi, dan infeksi. Penyebab kasus kematian tersebut adalah berkaitan dengan kematian yang disebabkan karena kehamilan, persalinan, dan nifas. Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih tinggi. Berdasarkan Survei Data Demografi Indonesia (SDKI) tahun 2012, AKI di Indonesia masih tinggi sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Sementara target AKI di tahun 2015 adalah 102 kematian per 100.000 kelahiran hidup.

Terdapat kenaikan AKI dari tahun 2007 sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut menunjukan semakin jauhnya target MDGs dapat tercapai. Ketidakberhasilan mencapai target inilah yang membuat Indonesia masih menyisakan rapor merah sejak berakhirnya MDGs tahun 2015 lalu.

Pada tahun 2010, dalam pidato sambutan Menteri Kesehatan yang disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan dr Ratna Rosita Hendardji, MPH dalam Kampanye Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) dan Penggunaan Buku KIA di Jakarta menyebutkan bahwa beberapa faktor penyebab kematian ibu dapat mengakibatkan kondisi tiga terlambat.

Pertama, adalah terlambat mengambil keputusan. Terlambat mengambil keputusan di sini sangat erat kaitannya dengan peran suami sebagai pengambil keputusan utama. Seorang suami dituntut untuk memahami kondisi istrinya. Pengambilan keputusan yang berkaitan erat dengan tradisi/kepercayaan keluarga harusnya sudah dirundingkan jauh-jauh hari oleh ibu, suami dan anggota keluarganya agar diperoleh kesiapan baik secara fisik, mental dan finansial. Keterlambatan pengambilan keputusan juga sanagat berkaitan erat dengan pengetahuan suami mengenai tanda bahaya yang mengancam jiwa ibu. Jika seorang suami memiliki pengetahuan mengenai tanda bahaya baik selama kehamilan, persalinan, atau nifas, maka sebagai pengambil keputusan utama dalam keluarga, ia mampu memutuskan untuk merujuk ibu ke fasilitas kesehatan yang memadai.

Hal ini berguna untuk mencegah terjadinya keterlambatan yang kedua dan ketiga yaitu terlambat mencapai tempat rujukan dan terlambat mencapai tempat rujukan.

Penerapan P4K
Mengapa peran suami siaga menjadi penting dalam menjaga kesehatan ibu terutama menjelang persalinan? Pemerintah, dalam upayanya menurunkan AKI di Indonesia telah membentuk suatu program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K). P4K sesuai dengan pengertian dari Departemen Kesehatan RI (2008), merupakan kegiatan yang difasilitasi oleh Bidan di desa dalam rangka peningkatan peran aktif suami, keluarga, dan masyarakat dalam merencanakan persalianan yang aman dan persiapan menghadapi komplikasi bagi ibu hamil, termasuk perencanaan pemakaian alat kotrasepsi pasca salin. Perencanaan dilakukan dengan menggunakan stiker sebagai media notifikasi sasaran dalam rangka meningkatkan cakupan mutu pelayanan kesehatan bagi ibu dan bayi baru lahir.

Peran suami siaga dimulai saat ibu memasuki masa kehamilan. Pada masa kehamilan, seorang wanita akan mengalami masa-masa perubahan baik dalam hal fisiologis maupun psikologis. Dukungan suami mulai diperlukan ketika seorang istri harus melakukan serangkaian pemeriksaan pada setiap trimester kehamilannya. Sesuai anjuran Kemenkes RI (2013), asuhan kehamilan dilakukan minimal 4 kali dengan minimal 1 kali ditemani oleh suami atau anggota keluarga lainnya. “Semakin tinggi dukungan keluarga maka semakin tinggi pula penyesuaian diri perempuan pada kehamilan pertama dan semakin rendah dukungan keluarga maka semakin rendah pula penyesuaian diri perempuan pada kehamilan pertama,” begitu kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian yang dilakukan oleh Astuti, dkk (2000). Pada dasarnya, untuk menjadikan masa kehamilan yang aman dan nyaman bagi calon ibu, maka penting untuk melibatkan peran suami sebagai pemenuh semua kebutuhan ibu hamil selama masa kehamilan.

Memasuki masa persalinan, peran suami semakin dibutuhkan. Suami siaga harus tahu kapan dan bagaimana tanda seorang istri yang akan melahirkan. Bersama dengan ibu, merencanakan persalinan, ikut mewaspadai adanya komplikasi dan tanda-tanda bahaya dan bersama-sama mempersiapkan suatu rencana apabila terjadi komplikasi dengan pengisian stiker P4K. Sesuai dengan teori Beni (2000) dalam Tias, dkk (2014), suami dapat membantu merencanakan kelahiran oleh tenaga bidan terlatih dan menyiapkan dana untuk persiapan biaya kelahiran. Suami juga dapat menyusun waktu yang tepat untuk menyediakan transportasi dan bahan-bahan yang diperlukan. Salah satu peran suami dalam menurunkan angka kematian ibu adalah suami dapat memastikan persalinan istrinya ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih dapat berjalan dengan aman.

Setelah bayi lahir dan ibu menjalani masa nifas, peran suami tidak putus begitu saja. Dukungan suami masih diperlukan untuk memastikan ibu menjalani masa nifasnya dengan nyaman dan selamat. Dukungan suami terutama dalam merawat anak diperlukan untuk mencegah terjadinya gangguan psikologis pada ibu. Dukungan suami pun harus diteruskan sampai pada masa dimana ibu harus memilih alat kontrasepsi.

Jadi mengapa peran suami menjadi sangat penting dalam menekan AKI di Indonesia? Karena hampir semua siklus hidup perempuan dari mulai hamil, hingga bersalin dan nifas berhubungan dengan dukungan dan peran serta suami sebagai pengambil keputusan dalam keluarga. Tidak melulu urusan kehamilan, persalinan, nifas dan mengurus anak menjadi urusan perempuan. Mengerti dan memahami segala bentuk pengetahuan mengenai kehamilan, persalinan, nifas serta mengurus anak juga merupakan kewajiban suami sebagai kepala keluarga. Harapannya dengan adanya peran serta aktif dari suami dan keluarga, siklus kehamilan, persalinan, dan nifas seorang ibu dapat berjalan dengan sehat tanpa komplikasi sehingga dapat tercipta keluarga yang sehat, bahagia, dan sejahtera. 

Oleh : Indriana Kusuma Wardhani (Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia)