Evaluasi Program Pembinaan Nilai-Nilai Pancasil Bagi Generasi Milenial

Oleh:
Dr. Abdul Wahab Samad, SE, MM,
Dr. Drs. Krisno Legowo, M.Si,
Prof. Dr. dr. James
Tangkudung, Sport Med.

Abstrak
Tuuan penelitian ini untuk mengevaluasi program pembinaan nilai-nilai Pancasila bagi generasi milenial dengan metode evaluasi discrepancy evaluation model yang mengukur capaian program pembinaan nilai-nilai Pancasioa bagi generasi milenial dan target yang telah disusun sebelumnya. Capaian diukur dengan mengevaluasi desain, tata kelola, prores, dan pelaksanaan program pembinaan nilai-nilai Pancasila terhadap penggunaan media sosial di kalangan generasi milenial.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa program pembinaan nilai-nilai Pancasila bagi generasi milenial belum berjalan sesuai dengan target yang hendak dicapai sehingga masih dibutuhkan tindak lanjut peningkatan program pembinaan nilai-nilai Pancasia kepada generasi milenial dimasa yang akan datang.

Kata Kunci; niali-nilai Pancasila, discrepansi evaluation model, standart, capaian, generasi milenial.

PENDAHULUAN
Ketahanan ideologi Pancasila, saat ini sedang menghadapi masalah di tengah masuknya ideologi-ideologi asing melalui media sosial. Ideologi negara sering terlihat takluk dan tunduk berpihak kepada ideologi asing atau budaya asing. Dalam permasalahan ideologi ini, komitmen untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tanah air Indonesia, di berbagai media sosial seolah tergantikan dengan pemberian fasilitas dan kemudahan-kemudahan kepada ideologi asing terutama masuknya budaya asing dari China dan Amerika Serikat.

Disamping itu, ancaman terhadap ideologi Pancasila saat ini juga muncul kembali dari kelompok-kelompok radikal. Tragisnya, kemunculan kelompok-kelompok radikal ini seolah-olah mengorbankan harkat dan martabat bangsa sendiri. Seolah-olah menganggap kelompok merekalah yang benar. Padahal, pada hakikatnya, ideologi menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara, namun dengan idelogi kelompok ini, tidak lagi mengakui ideologi Pancasila.

TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Wisudo (Wisudo, 2012), Pancasila sebagai ideologi negara sangat rentan bergeser menjadi ideologi yang berpihak kepada kepentingan penguasa. Ketika Pancasila menjadi ideologi yang berpihak, keberadaannya pun berada di ujung tanduk ketika sang penguasa kehilangan legitimasinya. Hal itu terjadi dengan Orde Baru, Pancasila hanya dijadikan doktrin sakral yang senantiasa diwacanakan, dikutip, dan dipaksa untuk dihapalkan tetapi tidak diamalkan. Padahal ideologi Pancasila merupakan penguat nilai-nilai pluralisme, demokrasi, dan keadilan sosial yang terkandung dalam Pancasila sehingga menjadi sebuah keharusan untuk memelihara eksistensi masyarakat Indonesia yang beragam.

Menurut Hidayat, (Hidayat, 2018) Orde Baru menggunakan ideologi Pancasila untuk menjalankan otoritarianisme Pembangunan dan Akselerasi Modernisasi-nya dan program de-ideologisasi partai-partai politik di masanya menjabat.

Terkait dengan ideologi, Mortimer (Mortimer, 2006, hal. 22) mengemukakan dalam globalisasi saat ini, sangat mudah membentuk, mengarahkan, mengawal dan mengembangkan pandangan hidup atau falsafah hidup baru atau ideologi baru, baik secara utuh maupun menggabungkan beberapa ideologi termasuk radikalisme, melalui serangkaian laporan-laporan yang dibuat secara sistematis, diikuti dengan video-video provokatif, serta pembahasan melalui artikel-artikel yang kemudian mendorong tindakan-tindakan diluar tradisi serta sistem nilai dalam ideologi Pancasila.

Menurut Federspiel (Federspel, 2001), Perkembangan pemikiran cendekiawan Muslim di Indonesia, tidak dapat dipungkiri, selama 60 tahun pada abad ke 20, telah menanamkan nilai-nilai Islam ke dalam budaya lokal, menetapkan ketentuan tentang sistem nilai dan pelaksanaanya yang mengadopsi perkembangan nilai-nilai budaya ke dalam nilai-nilai moral Islam, memperkenalkan cara hidup Islami bahkan mengadopsi perkembangan teknologi modern ke dalam budaya Cendekian Muslim di Indonesia.

Dalam hal solidaritas terhadap komunitas Muslim, terkait dengan kepemimpinan ini, menurut Faris and Abdalla, (Faris & Abdala, 2018) bahwa konsep nilai-nilai moral Islam bertumpu pada kepemimpinan para nabi dalam menanamkan nilai-nilai moral ke dalam kehidupan masyarakat.

Kepemimpinan mereka mampu menanamkan nilai-nilai keberanian mempertahankan kebenaran, ketulusan, kepercayaan, kerendahan hati, kebaikan, pendekatan dengan kedermawanan, konsultatif, dan lebih banyak konsep moral dan sifat-sifat terpuji lainnya.

Dalam memahami konsep leadership dalam Islam, menurt Faris and Abdala (Faris & Abdala, 2018, hal. 12 – 23) mengemukakan untuk memahami konsep tentang kepemimpinan dalam Islam, sifat-sifat para pemimpin di ukur dengan kitab suci Al-Qur’an dan kehidupan Nabi Muhammad SAW.

Kepemimpinan dalam Islam yang paling menonjol adalah, pertama, pemimpin dalam menjalankan kepemimpannya tulus dan ikhlas menawarkan solusi atas permasalahan yang dihadapi. Kepemimpinan yang tulus tersebut di tandai dengan sikap jujur, jauh dari kepentingan sesaat dan bermaksud menyombongkan diri.

Kedua, Kepemimpinan dalam konsep Islam adalah memiliki kesabaran. Sabar memainkan peran penting dalam menjaga interaksi sosial di tengah-tengah masyarakat. Para pemimpin yang mempraktikkan kesabaran memanfaatkan peluang kepemimpinan dengan memenuhi harapan-harapan yang mementingkan kepentingan umum, egalitarianisme, keadilan, kesetiaan, dan dengan merekrut pengikut.

Ketiga, para pemimpin Islam memiliki moral kebajikan. Pemimpin yang memiliki moral kebajikan adalah inti dari Islam yang ditandai dengan keadilan. Pemimpin tersebut bersikap adil, baik terhadap pengikut atau masyarakat lainnya yang di praktekan dalam kehidupan sehari-hari.

Keempat, pemimpin memiliki sikap rendah hati. Kerendahan hati pemimpin adalah moral kebajikan yang terpuji, namun tidak dilakukan secara berlebihan. Jika pemimpin melakukan secara berlebihan maka sikap tersebut tidak terpuji. Demikian pula sikap yang menghinakan atas kehinaan yang dialami seseorang atau kelompok tidak dibenarkan, bahkan dalam menghadapi kesulitan besar.

Kelima, Komunikasi dilakukan dengan suara yang lemah lembut dan fasih. Komunikasi dapat menjadi alat yang efektif untuk memotivasi pengikut sebagai pemimpin dan memungkinkan mereka untuk membuat keputusan yang lebih baik dan mempersiapkan mereka untuk mencapai perubahan. Keenam, Keberanian dalam menjalankan dan mempertahankan kebenaran.

Kepemimpinan, dan kemampuan untuk berperilaku dalam suatu kegiatan atau tindakan senantiasa dilakukan sesuai etika bahkan meskipun di bawah tekanan. Pemimpin membutuhkan keberanian mempertahankan nilai-nilai moral. Keberanian mempertahankan nilai-nilai moral adalah ekspresi perilaku yang dimiliki dalam menghadapi ketidaknyamanan pertikaian, ketidaksetujuan, atau penolakan. Dalam perspektif Islam, keberanian moral adalah sifat dasar karakter yang baik, dan kondisi yang diperlukan untuk kepemimpinan yang beretika.

Dalam kaitannya dengan pembentukan falsafah hidup dalam era globalisasi saat ini, tidak dapat dilepaskan dari philosophi. Menurut Margini, (Margini, 2018, hal. 2), saat ini pembentukan falsafah hidup ditentukan oleh phsilosofi hidup itu sendiri.
Saat ini berkembang bermacam-macam philosofi yang ditentukan dari inisiatif bentuk yang dikehendakinya, tidak terbatas kepada philosofi-philosofi kontemporer. Falsafah hidup ini di sebut sebagai “Jalan Ketiga” yang tidak terbatas kepada philosofi yang bukan bersifat indoktrinasi, philosofi pengikut Plato, philosofi para pemikir kontemporer phenomologis and para philosof pemikir kontinental di era abad ke-20.

Lebih lanjut Margini, (Margini, 2018, hal. 16 – 17) menyampaikan bahwa ideologi ini menurut Sokrates merupakan ideologi yang terbentuk dari pendidikan. Ideologi ini senantiasa mempertanyakan prinsip-prinsip philosofis diluar doktrin-doktirn dalam kemajuan perkembangan saat ini. Terbentuknya ideologi ini disebabkan pertama, secara aktif mengejar bentuk pemahaman yang fokus pada aspek kebenaran, secara phronesis, dengan menentukan kebenaran berdasarkan pengalaman-pengalaman, menyatakan diri sebagai ideologi yang mengabaikan kebenaran yang bersifat proposisionalitas, menentang kebenaran dari pemerintah atau praktisi.

Kedua, menimbang kebenaran berdasarkan pada pendidikan dan pembelajaran dalam menelusuri nilai-nilai kebajikan, atau nilai-nilai kehidupan yang baik, secara dialektika terus memperbarui pencarian informasi untuk meningkatkan pemahaman etika yang lebih dalam.

Ideologi ini senantiasa menjalani kehidupan dengan terus mernerus kembali kepada pertanyaan kebenaran yang diyakini dan dievaluasi kembali dan dimodifikasi kembali untuk menjawab pertanyaan tentang kebajikan. Sebagaimana diketahui filsafat Sokrates memang diakui mempertanyakan aspek-aspek keberadaan yang paling layak dipertanyakan dalam kehidupan.

Ketiga, pembentukan ideologi ini ditempuh dengan pembelajaran melalui proses pembimbingan yang sistematis dan disusun berdasarkan penyelidikan dan penelusuran secara dialektika. Penanaman ideologi ini kepada sasarannya di tempuh setelah mereka telah memahami pembelajaran yang sudah terbentuk di dalam diri mereka sebelumnya. Hal ini dimungkinkan karena para pengikutnya telah menempuh tahap-tahap proses interpretif, membentuk cara pandang yang bertumpu pada tujuan untuk memahami dan menjelaskan kehidupan sosial dari kacamata penggagas ideologi ini, yang sedang menjalankan gagasannya dan terus berkembang.

Pembentukan ideologi ini, ditentukan dari proses belajar, sebagai ideologi yang terbentuk dalam proses belajar yang tidak menjadikan tujuan sebagai hasil akhir atau produk akhir. Pembentukan ideologi ini dapat menunjukkan kekeliruan dengan metode atau praktik ini yang dilakukan. Oleh karena proses pembelajaran ideologi ini hanya terjadi melalui dialog komunal yang berkelanjutan dan berkelanjutannya dapat saja dibuang pada saat kebenaran baru muncul.

Menurut Wolfe (Wolfe, 2016, hal. 72), dalam memandang ideologi saat ini dikemukakan the boundary between animals and humans and thus to deny that we should be considered in either sanctified or secular sanctified terms as somehow bearers of the Moral Law.

Dalam konteks ilmu manajemen sumber daya manusia, nilai-nilai moral, menjadi alat ukur dalam meraih peluang. Terkait hal ini, ulrich, (Ulrich, 2008) mengemukakan bahwa secara filosofis, dengan nilai-nilai moral, setiap sumber daya manusia termasuk generasi milenial saat ini menghadapi tantangan dan peluang yang memungkinkan para generasi milenial tersebut yang secara profesional membentuk pemahaman dan menciptakan nilai-nilai ideologi sendiri.

Peluang yang tercipta digunakan sebagai alat dan teknik untuk mengatasi tantangan yang dihadadpi terutama dalam melewati perubahan-perubahan yang dramatis yang mengubah pandangan mereka.

Sementara itu menurut Wolfe, (Wolfe, 2016, hal. 20) secara philosophis memandang bahwa From the general account of change we get to the principle that can be stated as: X is neither best explained by its constituents; by a chance occurrence; or by its eidos . Rather, X is best explained as being ‘for the sake of Y’. To be is to be for the sake of something.

Dibelahan dunia lain, sebagai perbandingan, perkembangan masyarakat di Amerika Serikat seiring perubahan zaman, Torres and Sable, (Torres & Sable, 2018) mengemukan bahwa, bahwa para pemimpin yang hebat, pemimpin yang kaya dan sangat terhormat menggunakan kekuatan politiknya untuk mengubah aturan demi kepentingan orang miskin — secara povokatif mereka mendobrak nilai-nilai demokratis tidak untuk merendahkan para partisan partai politik dalam berdemokrasi. Konteks ini untuk menjelaskan perubahan yang diklaim Donald Trump akan diterapkan dalam struktur demokrasi Amerika dan strategi untuk mengubah institusi yang menguntungkan banyak orang.

Di Indonesia, dalam perkembangan masyarakat Indonesia, sejak awal menurut Ismail, (Ismail, 1995), Ideologi Pancasila yang sejak awal digali dan ditemukan dari sejarah panjang Indonesia, menjadi basis politk dan ideologi nasional negara untuk mencapai kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pancasila telah digunakan sebagai prinsip-prinsip etikal pada masa Majapahit, yang meliputi penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusian, tidak boleh melakukan pemaksaan kehendak kepada sesama, menjunjung nilai-nilai kejujuran, tulus dalam berinteraksi dengan sesama, berperilau adil, tidak berbohon dan berkata benar, tidak menyimpan dendam dan melampaui batas.

Namun demikian, saat ini, menurut hasil survei Wahid Institute (Institute, 2016) bersama Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2016 dikemukakan potensi bahwa kerawanan intoleransi di Indonesia tergolong masih sangat mengkhawatirkan.
Dari total 1.520 responden sebanyak 59,9 persen memiliki kelompok yang dibenci. Kelompok yang dibenci meliputi mereka yang berlatarbelakang agama non muslim, kelompok tionghoa, komunis, dan selainnya. Dari jumlah 59,9 persen itu, sebanyak 92,2 persen tak setuju bila anggota kelompok yang mereka benci menjadi pejabat pemerintah di Indonesia. Sebanyak 82,4 persennya bahkan tak rela anggota kelompok yang dibenci itu menjadi tetangga mereka.

Mengutip survei Center for Strategic and Internasional Studies (CSIS) (Studies, 2017), diketahui bagaimana sesungguhnya sikap generasi milenial (17-29 tahun) terkait ideologi Pancasila. Hasil survei yang dilakukan CSIS pada 23-30 Agusutus 2017 tersebut mayoritas generasi milenial tidak setuju apabila idelogi Pancasila diganti. Sebanyak 90,5 persen dari mereka (generasi milenial) tidak setuju idelogi Pancasila diganti. Dalam survei terhadap 600 responden itu terungkap pula bahwa hanya 9,5 persen generasi milenial yang setuju apabila ideologi‎ Pancasila diganti.

Dalam memahami philosofi pada era digital saat ini, menurut Shelley, (Shelley, 2017) mengemukakan bahwa dalam menjalani ideologi pada kehidupan sehari-hari, sangat penting untuk mengetahui siapa yang harus dipercaya mengingat kompleksitas perkembangan teknologi yang memungkinkan desain perspektif informasi yang disampaikan berasal dari capaian perkembangan teknologi ditengah-tengah masyarakat.

Dalam definisinya, Keyakinan di rumuskan sebagai sikap yang diambil oleh seseorang yang akan membantunya mencapai tujuannya dalam kondisi yang secara karakteristik tidak menentu dan tidak memadai. Dalam konteks keyakinan berdasarkan definisi tersebut, termasuk pertama, apa saja keinginan atau kebutuhan yang diperlukan untuk mencapai tujuan.

Kedua, terdapat kondisi tidak menentu apakah orang lain akan membantu agar dapat mencapai tujuan. Ketiga, dalam kondisi orang lain tidak ada yang membantu, tentu membutuhkan biaya untuk menjamin bantuan orang lain dalam mencapai tujuan. Keyakinan penting bagi setiap orang, karena membantu mencapai tujuan bersama. Sebagai contoh, pada saat pelajar diberi tugas kelompok untuk menyelesaikan sebuah kegiatan atau proyek, dibutuhkan cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikannya, namun mereka harus memiliki keyakinan terhadap setiap anggota dalam group mereka.

Dalam memahami generasi milenial menurut Salice and Schmid, (Salice & Schmid, 2016) perlu melihat kedudukan mendasar mereka sebagai individu dari mahluk sosial. Sebagai individu, mereka memahami kehidupan sehari-hari, menjalaninya sebagai pengalaman hidup sebagaimana halnya individu-individu lainnya. Mereka kemudian tidak bisa tidak sejak awal, meskipun tidak seluruhnya atau sebagian besar secara proaktif mengekpresikan tanggapan terhadap kondisi situasional yang berkembang.

Mereka mengungkapkan pengalaman mereka secara kolektif, atas tanggapan yang sama, yang dilakukan secara umum yang disampaikan ke ruang publik. Sesuai dengan sikap atas perkembangan situasional, yang ditanggapi pada umumnya berdasarkan informasi yang tersedia, maka mereka secara normatif mengalami denormalisasi atau keberadaannya ditentukan oleh informasi yang tersedia. Keberadaan mereka yang di dominasi oleh informasi dalam mode denormalisasi tersebut, yang memungkinkan menjadi agen perubahan sekaligus juga membatasi kemampuan pada saat yang sama sebagai agen perubahan yang nyata, sebagai individu yang kemudian menjadi bagian dari kehidupan sosial kemasyarakatan bahkan global.

Pada generasi milenial seperti ini, tidak bisa tidak, perlu memberikan informasi yang memilki kejelasan secara normatif yang menginformasikan kenyataan yang sebenarnya apa yang terjadi, termasuk peristiwa dunia yang disampaikan oleh siapa pun untuk maksud tertentu, atau sekedar menunjukkan keakraban dengan orang-orang yang disayangi tentang kesamaan dalam memandang perkembangan situasional yang terjadi dengan mendasarkan pada norma-norma umum yang diyakini oleh kelompok mereka.

Tidak seorang pun dapat secara langsung menunjukkan keyakinan yang secara umum memberikan informasi yang sepenuhnya menggambarkan kebenaran yang sesungguhnya sehingga dapat mengendalikan diri secara normatif, karena gambaran informasi yang diterima utuh seperti ini akan dapat membatasi tindakan dan peran yang diambil. Dengan membuka dan membatasi peran atau interpretasi diri seperti ini, dengan informasi yang digambarkan seutuhnya, pada gilirannya membentuk bagaimana mereka berurusan satu sama lain dan entitas non-individu dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya.

RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana desain pembinaan nilai-nilai ideologi Pancasila kepada generasi milenial saat ini dilakukan untuk mengatasi masalah yang belum sepenuhnya mampu menerjemahkan nilai atau prinsip Pancasila menjadi sesuatu yang lebih nyata dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terlihat terutama dalam cara hidup masyarakat menghargai perbedaan.
2. Bagaimana tata kelola pembinaan nilai-nilai ideologi Pancasila kepada generasi milenial saat ini melalui sistem, prosedur, mekanisme di tengah-tengah arus informasi dan globalisasi.
3. Bagaimana proses pembinaan nilai-nilai ideologi Pancasila kepada generasi milenial dilakukan ditinjau dari aspek-aspek formal dan pendekatan yang ditempuh untuk menjangkau generasi milenial
4. Bagaimana hasil pelaksanaan pembinaan nilai-nilai ideologi Pancasila telah dilakukan terhadap generasi milenial guna meningkatkan cinta tanah air, persatuan dan kesatuan bangsa serta menjaga ciri khas adat dan kebiasaan ke Indonesiaan, terutama menghadapi idelogi-ideologi baru melalui media sosial.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian Discrepancy Model guna melihat dua komponen penting, yakni standar dan program performance. Untuk mengungkap seberapa besar kesenjangan di antara keduanya berkenaan dengan desain dan pelaksanaan program. Skema model kesenjangan ini.

DISKUSI DAN PEMBAHASAN
Dalam merumuskan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mengenai desain pembinaan nilai-nilai ideologi Pancasila, perlu dikemukakan data-data yang terkait dalam rangka menyusun konstruksi desain yang akan dijalankan. Memang, berdasarkan data-data, jumlah generasi milenial di Indonesia sangat banyak. Lebih dari 34% dari total populasi penduduk Indonesia termasuk dalam kategori generasi milineal.

Dalam menyusun desain program pembinaan nilai-nilai ideologi Pancasila, beberapa temuan penting perlu dikemukakan, seperti tidak hadirnya nilai-nilai ideologi Pancasila dalam bentuk kreatif. Hal ini terkait dengan pembentukan idelogi yang menurut Margini, (Margini, 2018, hal. 2), saat ini pembentukan falsafah hidup ditentukan oleh phsilosofi hidup itu sendiri. tidak terbatas kepada philosofi-philosofi kontemporer. Falsafah hidup ini di sebut sebagai “Jalan Ketiga” yang tidak terbatas kepada philosofi yang bukan bersifat indoktrinasi, philosofi pengikut Plato, philosofi para pemikir kontemporer phenomologis and para philosof pemikir kontinental di era abad ke-20.

Tata kelola pembinaan nilai-nilai Pancaslla bertumpu pada sistem, prosedur dan mekanisme yang dikembangkan yang menekankan penghormatan atas perbedaan keyakinan, kemanusiaan, persatuan nasional, kemakmuran, dan keadilan social, menjadi sangat abstrak bagi generasi milenial dan tidak punya kaitan emosional dengan masa ketika nilai-nilai itu dicetuskan.

Sebagaimana dikemukakan Salice and Schmid, (Salice & Schmid, 2016) perlu melihat kedudukan mendasar mereka sebagai individu dari mahluk sosial yang memahami kehidupan sehari-hari, menjalaninya sebagai pengalaman hidup yang berbeda dengan generasi sebelumunya. Mereka sejak awal, secara proaktif mengekpresikan tanggapan terhadap kondisi situasional yang berkembang. Mereka mengungkapkan pengalaman mereka secara kolektif, atas tanggapan yang sama, yang dilakukan secara umum yang disampaikan ke ruang publik. Mereka secara normatiff mengalami denormalisasi atau keberadaannya ditentukan oleh informasi yang tersedia.
Targetnya adalah mewujudkan nilai-nilai ideologi Pancasila menjadi fondasi bangsa yang harus memenuhi seluruh kehidupan sosial kemasyarakatan Indonesia.

Tantangannya menurut Margini, (Margini, 2018) bahwa ideologi baru menurut Sokrates merupakan ideologi yang terbentuk dari pendidikan. Ideologi itu sendiri, dimulai dengan mempertanyakan prinsip-prinsip philosofis diluar doktrin-doktrin umum. Fakta menunjukkan bahwa sekarang ini penanaman nilai-nilai Pancasila terhadap generasi milenial tidak utuh dan kurang menyeluruh. Tidak heran jika sebagian besar generasi milenial sangat mudah untuk terpengaruh oleh ideologi dan budaya luar dan bahkan ideologi-ideologi tersebut muncul sebagai pertentangan dengan Pancasila.

Dalam menjawab pertanyaan bagaimana proses pembinaan nilai-nilai ideologi Pancasila tersebut dijalankan?
Pembinaan nilai-nilai ideologi Pancasila yang dijalankan secara formal baik melalui media massa dan media sosial, maupun melalui forum-forum kajian, seminar, simposium dan dialog-dialog lainnya, kesemuanya bersifat ilmiah. Namun tidak kalah pentingnya bagaimana mengatasi permasalahan dengan melalui contoh tauladan.

Terkait hal ini, seperti mengatasi intoleransi yang menurut Wolfe, (Wolfe, 2016, hal. 20) secara philosophis perlu mengingatkan bahwa ideologi from the general account of change we get to the principle that can be stated as: X is neither best explained by its constituents; by a chance occurrence; or by its eidos . Rather, X is best explained as being ‘for the sake of Y’. To be is to be for the sake of something. Ideologi dapat dipahami dari apa yang saat ini membentuknya, atau memahami ideologi dari apa yang akan terjadi akibat perubahan teknologi. Hal ini tentu mengkhawatirkan jika generasi milenial menafsirkan ideologi Pancasila berdasarkan perkembangan nilai-nilai milenial semata.

Seperti halnya intoleransi, salah satu ideologi yang paling mengkhawatirkan yang bertumbuh di kalangan generasi milenial, radikalisme. Cirinya, mereka memiliki kelompok yang dibenci dan tidak setuju apabila anggota kelompok yang mereka benci memegang kekuasaan. Bahkan hanya sebatas menjadi tetangga saja mereka tidak mau. Ini mengakibatkan Indonesia akan mengalami krisis intoleransi yang sangat hebat apabila tidak diatasi dengan bijak dan sesegera mungkin.

Menurut T. Wolfe (Wolfe, 2016, hal. 72), untuk mengatasi masalah ini, perlu menarik perbedaan tentang batasan-batasan yang diperbolehkan, the boundary between animals and humans and thus to deny that we should be considered in either sanctified or secular sanctified terms as somehow bearers of the Moral Law. Dengan batasan moral, penanaman nilai-nilai Pancasila, kebhinekaan, dan toleransi perlu dilakukan meskipun secara sederhana terhadap generasi milenial tersebut.

Generasi milenial yang sebagian besar muslim, secara tidak sadar tidak mengenal (atau tidak dikenalkan) nilai-nilai Pancasila secara baik. Mereka, menurut Faris and Abdalla, (Faris & Abdala, 2018, hal. 12 – 23) perlu kembali menggali pemahaman konsep tentang kepemimpinan dalam Islam, sifat-sifat para pemimpin dalam Islam di ukur dengan kitab suci Al-Qur’an dan kehidupan Nabi Muhammad Saw. Perlu meningkatkan pemahaman bahwa konsep nilai-nilai moral Islam bertumpu pada kepemimpinan para nabi dalam menanamkan nilai-nilai moral ke dalam kehidupan masyarakat.

Kepemimpinan mereka mampu menanamkan nilai-nilai keberanian mempertahankan kebenaran, ketulusan, kepercayaan, kerendahan hati, kebaikan, pendekatan dengan kedermawanan, konsultatif, dan lebih banyak konsep moral dan sifat-sifat terpuji lainnya.

Ideologi baru ini. bisa jadi lebih menarik bagi generasi milenial karena memenuhi harapan mereka atas pola-pola baru, cara berpikir, dan cara bertindak yang mereka minati. Sementara di sisi lain, ideologi Pancasila mereka anggap tidak menarik, kuno atau out of date. Disisi lain juga sebagian masyarakat lebih tertarik pada aspek lain dan mempraktikkan ideologi liberal. Namun untuk mengatasi hal ini, menurut Shelley, (Shelley, 2017) perlu dilakukan dalam menjalani ideologi Pancasila, pada kehidupan sehari-hari.

Sangat penting untuk mengetahui siapa yang harus mereka percaya mengingat kompleksitas perkembangan teknologi yang memungkinkan desain perspektif informasi yang disampaikan berasal dari capaian perkembangan teknologi ditengah-tengah masyarakat. Apabila orang-orang yang mereka percayai menjelaskan tentang ideologi Pancasila, tentang perkembangan teknologi, tentu kesan Pancasila out of date tidak terbukti. Dalam konteks ini, keyakinan mereka, berdasarkan sikap yang diambil akan membantunya mencapai tujuan mengamalkan nilai-nilai ideologi Pancasila dalam kondisi yang secara karakteristik tidak menentu dan tidak memadai.

Dalam konteks penyampaian nilai-nilai ideologi Pancasila oleh orang-orang yang mereka percayai, berdasarkan definisi tersebut, termasuk pertama, apa saja keinginan atau kebutuhan yang diperlukan untuk mencapai tujuan penanaman niliai-nilai ideologi Pancasila. Kedua, terdapat kondisi tidak menentu apakah institusi pemerintah akan membantu agar dapat mencapai tujuan tersebut. Ketiga, dalam kondisi institusi pemerintah tidak ada yang membantu, tentu membutuhkan peran serta masyarakat untuk menjamin dalam mencapai tujuan penanaman nilai-nilai ideologi Pancasila tersebut. Kepercayaan penting bagi setiap orang, karena membantu mencapai tujuan bersama.

KESIMPULAN
Nilai-nilai ideologi Pancasila akan tumbuh dan berkembang pada generasi millennial apabila nilai-nilai ideologi Pancasila mampu ditanamkan dengan nilai-nilai moral, dilakukan oleh para pemimpin dengan menunjukkan ketaladanan. Dilakukan oleh orang-orang yang mereka percayai, Program pembinaan nilai-nilai Pancasila bagi generasi milenial membutuhkan tindak lanjut peningkatan program pembinaan dimasa yang akan datang.

References:

Faris, N., & Abdala, M. (2018). Leadership in Islam Thoughts, Processes and Solutions in Australian Organizations. Cham, Switzerland: Springer Nature.

Faris, N., & Abdala, M. (2018). LEADERSHIP IN ISLAM Thoughts, Processes and Solutions in Australian Organizations. Cham, Switzerland: Springer Nature.

Federspel, H. M. (2001). Islan and Ideology in the Emerging Indonesian State; the Persatuan Islam (Persis 1923 – 1957). Brill – Leiden – Boston – Koln: Ithaka, Cornell Modern Indonesia Project (1970).

Federspiel, H. M. (2001). Islam and ideology in the emerging Indonesian state : the Persatuan Islam (Persis),. Brill – Leiden – Boston – Koln: Ithaka, Cornell Modern Indonesia Project (1970).

Hidayat, F. (2018). Pancasila: Perpektif Pendiri RI & Problematikanya. Bekasi Jawa Barat: STIBA Bekasi.

Institute, W. (2016). Hasil Survei Nasional 2016 Wahid Foundation – LSI. Jakarta: Wahidfoundation.org.

Ismail, F. (1995). Islam, Poiitics and Ideology in Indonesia. Ottawa Canada: McGill University Montreal.

Margini, J. M. (2018). Plato’s Socrates, Philosophy. Cham, Switzerland: Springer Nature.

Margini, J. M. (2018). Plato’s Socrates, Philosophy. Cham, Switzerland: Springer Nature.

Mortimer, R. (2006). Indonesian communism under Sukarno : ideology and politics, 1959-1965 . Jakarta: Equinox Pub.

Salice, A., & Schmid, H. B. (2016). Studies in the Philosophy of Sociality The Phenomenological Approach to Social Reality.

Switzerland: SpringerNature.
Shelley, C. (2017). Studies in Applied Philosophy, Epistemology and Rational Ethics Design and Society: Social Issue in Technological Design . Cham, Switzerland: Springer International Publishing.

Studies, C. f. (2017). Ada Apa dengan Milenial? Orientasi Sosial, Ekonomi dan Politik. Jakarta: www.csis.or.id.

Torres, A. J., & Sable, M. B. (2018). Trump and Political Philosophy Leadership, Statesmanship, and Tyranny. Cham, Switzerland: Springer International.

Ulrich, D. (2008). HR Dreams: Where Human Resource Management is Headed to Deliver Value. USA: Oxford University Press.

Wisudo, B. (2012). Pancasila Yang Mencerdaskan. South Jakarta: Yayasan TIFA.
Wolfe, C. T. (2016). Materialism: A Historico-Philosophical Introduction. Cham Heidelberg: Springer International.

Wolfe, C. T. (2016). Materialism: A Historico-Philosophical Introduction. Cham Heidelberg: Springer International.

Editor: Syafrudin Budiman SIP