Jakarta – Suatu siang, di salah satu gerai rumah makan di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, seorang anak terlihat fokus memandang layar telepon selular di depannya, sambil disuapi makan oleh ibunya.

Dari telepon selular itu, terlihat gambar animasi bergerak-gerak, berwarna-warni, dan diiringi musik yang ceria. Anak berusia lima tahun tersebut terlihat sangat tertarik dengan gambar animasi tersebut. Meskipun sambil mengunyah makanan, matanya tidak terlepas dari layar gawai di depannya.

Pengalaman serupa mungkin pernah dialami oleh orang tua lainnya, yaitu anak terlalu fokus dengan gawai yang menyuguhkan gambar-gambar menarik.

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Edi Santoso mengatakan, gawai memang bisa menyita perhatian anak-anak, terutama karena fitur multimedianya yang atraktif.

Namun penggunaan gawai oleh anak-anak sejak dini bisa berdampak negatif, yakni bisa membuat anak menjadi “kecanduan”, terutama, ketika orang tua tidak bisa memberi alternatif kegiatan selain membiarkan anak “tengggelam” dalam gawai.

Namun, menurut dia, orang tua bisa meminimalkan pengaruh gawai agar anak-anak agar tidak “kecanduan”. Dia optimistis pengaruh gadget tidak sekuat itu, asalkan orang tua berupaya meminimalkannya.

Orang tua bisa berbuat sesuatu, orang tua bisa memberi alternatif kegiatan lain pada anak, yang menarik dan lebih atraktif, sehingga anak tidak terpaku hanya pada gawai.

Misalkan, olah raga, mengunjungi kebun binatang, menggambar, mewarnai, membaca buku cerita, menari, mengunjungi taman, museum, dan masih banyak lagi kegiatan lainnya.

Anak yang terlalu sibuk dengan gadget, kata dia, hanya karena tidak mempunyai alternatif kegiatan lain. Bukan karena pengaruh gawai yang terlalu kuat.

“Riset saya seputar literasi media mengonfirmasi hal itu,” katanya menegaskan. Dalam artian, anak candu terhadap gawai atau tidak, itu sangat tergantung kepada peran orang tuanya.

Orang tua yang membuat aturan bagi anak terkait gawai. Orang tua yang membatasi anak bermain gawai. Orang tua yang menyuguhkan berbagai aktivitas fisik pada anak mereka, tentu merupakan orang tua yang bisa membentengi anak dari risiko “kecanduan” gawai.

Beberapa keluarga yang tradisi belajarnya baik, memberikan kesibukan anak dengan berbagai alternatif kegiatan, tentu bisa mengalihkan perhatian anak kepada hal-hal lain yang lebih berdampak positif bagi tumbuh kembangnya.

Jadi kuncinya adalah orang tua. Bila dunia anak hanya terpusat pada gawai, berarti orang tua perlu melakukan introspeksi.

Orang tua, jangan malah menjadikan gawai sebagai sarana agar anak mereka tidak rewel. Pasalnya, ada orang tua yang menjadikan gawai sebagai sarana agar anak anteng atau diam di rumah.

“Jadi, biar tidak berisik, tidak nangis, anak kemudian diberikan ‘gadget’,” katanya.

Semuanya kembali kepada orang tua dan lingkungan terdekatnya. Anak “kecanduan” gawai atau apapun bisa disebabkan kurang ketatnya orang tua dalam membuat aturan bagi anak.

Selain orang tua, tentu yang juga berperan penting adalah lingkungan terdekat, tempat dia tinggal. Lingkungan sekitar bisa berperan serta dalam mengalihkan perhatian anak dari gadget.

Ia mengemukakan sempat melakukan penelitian di lereng Gunung Merapi di mana ada lembaga swadaya masyarakat yang membuat komunitas belajar untuk anak-anak.

Mereka diajari bermain gamelan sepulang sekolah, siaran radio, atau berkebun saat libur. Aktivitas mereka sangat asyik sehingga anak-anak tidak tergoda menonton televisi atau bermain gawai.

Interaktif Psikolog dari RSUD Cilacap, Jawa Tengah, Reni Kusumowardhani, mengatakan anak-anak biasanya menyukai gawai karena memiliki sifat interaktif.

Dari gawai, anak bisa menemukan banyak permainan “game online”, banyak informasi menarik, dan semuanya disuguhkan dengan tampilan yang menarik sehingga pada era kekinian, gawai menjadi “sahabat” yang menyenangkan bagi anak.

Pada saat ini, gawai seolah-olah menjadi “pesaing” bagi orang tua untuk mendapatkan perhatian anak, terutama dalam upaya pembentukan karakter.

Untuk merebut hati anak, kata dia, orang tua harus bisa bersaing dengan gawai. Orang tua juga harus punya “keistimewaan” seperti gawai.

Menurut dia, agar anak tidak “kecanduan” gawai, mereka harus melakukan sejumlah upaya, misalkan menjadi orang yang mudah didekati, memiliki “tampilan” yang menyenangkan, bahkan bila perlu bisa menggambarkan sesuatu dengan bentuk cerita.

Orang tua, kata dia, harus bersikap hangat, dan menempatkan diri sebagai sahabat anak sehingga tidak hanya terkesan menuntut kewajiban tanpa tahu keinginan anak-anak mereka.

Dia mencontohkan, ketika anak pulang sekolah, orang tua bisa menyambut dengan kehangatan, mengajak anak makan bersama, dan berbagai momentum kebersamaan lainnya sehingga tidak langsung mengajukan pertanyaan tentang pekerjaan rumah, nilai di sekolah, dan lain sebagainya.

Pada intinya, orang tua harus mampu membangun komunikasi dua arah, karena Komunikasi yang intensif antara orang tua dan anak berperan penting dalam proses pembentukan karakter anak.

Apalagi, pada era digital, jika orang tua tidak pandai-pandai menggunakan jurus komunikasi intensif, maka akan sulit bersaing dengan gawai.

Ketua Umum Ikatan Praktisi dan Ahli Parenting Indonesia (iParent), Sudibyo Alimoeso, menambahkan orang tua harus memahami secara bijaksana mengenai risiko yang disebabkan oleh gawai, baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Secara bijaksana pula, orang tua bisa memberikan prakondisi dalam pemberian gawai yang disesuaikan dengan perkembangan umur anak.

Misalnya, pemakaian gawai dilakukan saat orang tua ada di rumah atau setelah pukul 18.00. Di luar itu, orang tua dapat menyibukkan anak dengan berbagai hal yang tidak kalah menarik.

Sesekali, orang tua harus mendampingi, ikut bermain bersama anak-anak mereka, ada di samping anak-anak mereka, sehingga anak akan merasa senang dan tidak mengalihkan rasa jenuh dengan bermain gawai. (Ant)